Di bulan Ramadhan lalu
kita “dihibur” oleh para muballigh (da’i) dengan berbagai macam penampilannya,
mulai dari melawak sampai menangis(?). Sebagian muballigh tersebut
meninggalkan potret dan kenangan yang amat menyedihkan kita. Bagaimana kita tak
bersedih, sementara mereka telah melakukan beberapa pelanggaran besar di sisi
Allah.
Para pembaca yang
budiman, sebagian muballigh dan ustadz tersebut telah terjatuh dalam
pelanggaran-pelanggaran besar. Kali ini kami akan menyebutkan sebagian diantara
pelanggaran-pelanggaran tersebut, seperti:
¾ Tidak
Memahami Ilmu Agama dengan Baik
Di bulan Ramadhan ini,
banyak bermunculan da’i-dai dengan berbagai macam tipe dan karakternya,
bagaikan cendawan di musim hujan; mulai dari yang karbitan sampai kepada yang
berilmu. Hanya saja yang berilmu ini sedikit jumlahnya.
Mayoritas muballigh
kita memiliki pemahaman agama yang minim, karena sebagian besar adalah
orang-orang yang tak pernah mengecap pendidikan di pondok pesantren. Ada yang
berstatus sarjana agama jebolan universitas agama, tapi tetap saja ia memiliki
ilmu agama yang minim. Parahnya lagi, sebagian da’i berasal dari kalangan
pelawak dan artis yang kerjanya cuma pandai menghibur orang dengan banyolan dan
gayanya di atas mimbar. Tak ada hikmah ceramah yang kita petik, kecuali
canda dan tawa saja. Kebanyakan mereka tidak memiliki dasar-dasar agama
yang kuat. Karena sekedar modal semangat yang mendorong mereka berdakwah,
akhirnya merekapun mengerjakan sesuatu yang mereka tak kuasai. Mereka ibarat
seorang yang melantik dirinya sebagai dokter, padahal ia bukan dokter!!
Akibatnya bukan menyembuhkan, tapi malah membuat orang semakin sakit.
Banyak muballigh yang
minim ilmunya telah mewarnai kancah dakwah islamiyyah di negeri kita dengan
berbagai macam tendensi yang melatari mereka. Lalu mereka menjadi pemimpin yang
memberi “nasihat”. Tragisnya lagi, mereka memasang sorban lalu diletakkan di
leher, dan melantik dirinya sebagai ulama, padahal bukan. Inilah yang
diisyaratkan oleh Nabi-shollallahu alaihi wasallam- dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ
مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا
لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُسًا جُهَّالاً فُسُئِلُوْا
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah
tidak mengangkat ilmu dengan sekali mencabutnya dari manusia. Akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’ sehingga apabila Allah tidak
menyisakan lagi seorang ulama’pun, maka manusiapun mengangkat pemimpin-pemimpin
yang jahil. Mereka (para pemimpin tsb) ditanyai, lalu merekapun memberikan fatwa
tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (manusia)”.[HR.Al-Bukhory dalam Kitab Al-Ilm (100),
dan Muslim dalam Kitab Al-Ilm(2673)]
Al-Imam Abu Zakariya
An-Nawawiy -rahimahullah- berkata
ketika menjelaskan makna hadits di atas,“Hadits ini menjelaskan maksud
tercabutnya ilmu dalam hadits-hadits lalu yang muthlak (umum), bukan
menghapusnya dari dada para penghafal (pemilik) ilmu itu. Akan tetapi maknanya,
para pembawa ilmu itu (yakni para ulama) akan mati. Lalu manusia mengangkat
orang-orang jahil (sebagai pemimpin dalam agama). Orang-orang jahil itu
memutuskan perkara berdasarkan kejahilan-kejahilannya. Lantaran itu ia sesat,
dan menyesatkan orang”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih
Muslim ibn Al-Hajjaj (16/224), cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arabiy]
Alangkah banyaknya
pemimpin dan ustadz-ustadz seperti ini. Mereka diangkat oleh manusia sebagai
seorang ulama’ dan ustadz. Padahal ia tidaklah pantas dijadikan panutan, karena
ia jahil. Kalaupun ia berilmu, tapi ilmunya di buang ke belakang punggungnya. Manusia
jenis ini banyak bermunculan di bulan suci Ramadhan.
·
Mengada-ada atas Nama Allah
Di bulan Ramadhan yang
lalu, mungkin ada diantara kita yang pernah mendengar seorang dai yang tampil
dengan “gagah” dan tegas menyatakan bahwa musik itu halal!! Ini tentunya adalah
sikap mengada-ada atas nama Allah.
Padahal telah nyata
dalam sebuah hadits bahwa musik itu adalah haram didengarkan dan dilakukan.
Dengarkan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda mengharamkan
musik,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنِ الْحِرَّ
وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sesungguhnya akan ada
beberapa kaum dari ummatku akan menghalalkan zina, kain sutra, minuman keras
(khomer), dan musik”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab
Al-Asyribah (5590)]
Al-Albaniy–rahimahullah- berkata,
“Sesungguhnya para ulama dan fuqoha –diantaranya empat imam madzhab- sepakat
mengharamkan alat-alat musik karena berteladan dengan hadits-hadits Nabi
Shollallahu Alaihi wa Sallam dan atsar-atsar Salaf ”.[Lihat Tahrim
Alat Ath-Thorb (hal 105)]
Jadi, orang yang
menghalalkan musik adalah orang yang mengada-ada atas nama Allah. Seorang
ketika menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, harus berdasarkan dalil dari
Al-Kitab dan Sunnah. Oleh karena itu, seseorang tak boleh mengada-ada atas nama
Allah, “Ini halal, dan itu haram”, lalu tak didasari dengan dalil,
hanya dilandasi dengan perasaan. Sebab ini adalah langkah-langkah setan. Allah
-Tabaroka wa Ta’ala- berfirman,
“Sesungguhnya syaitan
itu Hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 169)
Contoh lain, seorang dai yang menyangka dirinya ulama (padahal bukan) telah
menyatakan dengan “yakin” bahwa Lailatul Qodar itu tidak memiliki tanda-tanda
alam, dengan dalih bahwa tanda-tanda itu tak disebutkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah.
Ini tak benar, ini
tentunya mengada-ada, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah
menyebutkan tanda-tanda Lailatul Qodar dalam beberapa hadits berikut:
Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda,
صُبْحَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ تَطْلُعُ الشَّمْسُ لَا شُعَاعَ لَهَا
كَأَنَّهَا طَسْتٌ حَتَّى تَرْتَفِعَ
“Pada pagi hari
Lailatul Qodar, matahari muncul tanpa cahaya, seakan ia adalah kobokan (tempat
cuci tangan) sampai ia tinggi”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (no.
20253). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Shohih
Al-Jami' (no. 3754)]
Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda,
ليلةٌ سمْحةٌ طلِقةٌ ، لا حارةٌ ، ولا باردةٌ ، تصبح شمسُها
صبيحتُها ضعيفةٌ حمراءُ
“Lailatul Qodar adalah
malam yang mudah lagi baik (nyaman), tidak panas dan tidak pula dingin. Di pagi
harinya, cahaya matahari lemah lagi merah”. [HR.
Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (no. 349). Hadits ini
di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (no.
5475)]
Dikatakan malam yang mudah
lagi baik, jika malam itu tak ada rasa panas dan tidak pula dingin yang
mengganggu. Demikian yang dinyatakan oleh Al-Imam Ibnul Atsir -rahimahullah-
dalam An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (3/299).
·
Senang Membawakan Hadits-hadits Lemah dan Palsu
Seorang yang jahil
ibarat pemungut kayu bakar di malam gulita; ia tidak bisa membedakan antara
ular dengan kayu bakar. Sehingga terkadang ia memungut ular, sedang ia
menyangkanya adalah kayu bakar. Demikianlah sebagian muballigh kita, terkadang
ia menyangka itu adalah hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
padahal bukan!! Mereka memungut hadits-hadits dho’if (lemah), bahkan palsu!!!
Sementara hadits lemah dan palsu tak boleh kita sandarkan kepada Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-, sebab bukan sabda beliau.
Al-Allamah Ibnul
Arabiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata, “Hadits
dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak”.[Lihat Al-Muqni' fi
Ulum Al-Hadits (hal. 104)]
Diantara hadits-hadits
lemah dan palsu yang disebarkan oleh para muballigh kita di bulan Ramadhan
adalah hadits-hadits berikut ini:
Pertama, konon
kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ
أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا إِنَّ الْجَنَّةَ
لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ
“Andaikan para hamba
mengetahui apa yang terdapat dalam Romadhon, niscaya ummatku akan mengharapkan
Romadhon adalah setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Romadhon dari
awal tahun ke tahun berikutnya”. [HR. Ibnu
Khuzaimah dalam Shohih-nya(1886), Abu Ya'laa dalam Al-Musnad (5273),
Ibnul Jauziy dalam Al-Maudhu'at (2/188-189)]
Hadits ini palsu,
karena terdapat rowi yang bernama Jarir bin Ayyub Al-Bajaliy Al-Kufiy (pemalsu
hadits). Syaikh Al-Albaniy menyatakannya palsu dalam Adh-Dho’ifah (871)
Kedua, konon kabarnya
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
يَا أَيُّهَا النّاَسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ
عَظِيْمٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ
صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ
بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ… وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ
عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Wahai
manusia, sungguh kalian telah dinaungi oleh bulan yang agung; bulan yang di
dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Allah
menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban, dan sholat malamnya sebagai
tathowwu’ (sunnah). Barang siapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan satu
bentuk kebaikan, maka ia ibaratnya orang yang menunaikan kewajiban pada selain
Romadhon…Awalnya adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan, dan akhirnya
adalah pembebasan dari neraka“.[HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1887),
Al-Mahamiliy dalam Al-Amaliy (293)]
Hadits ini dho’if (lemah),
karena ada rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jad’an (jelek
hafalannya. Syaikh Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (871
& 1569)
Ketiga, konon kabarnya
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Berpuasalah, niscaya
kalian akan sehat”. [HR.
Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8312), Ibnu Adi dalamAl-Kamil (2/357/488
& 7/57/1986)]
Dalam sanad
Ath-Thobroniy ada rawi yang bernama Zuhair bin Muhammad. Haditsnya dho’if jika
diriwayatkan oleh orang-orang Syam dari Zuhair, sedang hadits ini termasuk
diantaranya. Adapun riwayat Ibnu Adi, dalam sanadnya terdapat Husain
bin Abdullah bin Dhumairoh Al-Himyariy (orangnya tertuduh dusta), dan Nahsyal
bin Sa’id Al-Wardaniy (orangnya matruk/ditinggalkan). Jadi,
riwayat-riwayat ini tak bisa saling menguatkan. Syaikh Al-Albaniy men-dho’if-kan
hadits ini dalam Adh-Dho’ifah(253)
Anas bin Malik -radhiyallahu
‘anhu- berkata, “Apabila Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
berbuka, maka beliau berdo’a :
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ اَللَّهُمَّ
تَقَبَّلْ مِنِّيْ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
, “Ya Allah, karena
Engkau aku berpuasa, dengan rezqi-Mu aku berbuka. Ya Allah, terimalah (amal
sholeh) dariku; Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.”. [HR. Ad-Daruquthniy dalam Sunan-nya
(26), dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (12720)]
Hadits ini dho’if
jiddan (lemah sekali), karena dalam sanadnya terdapat Abdul
Malik bin Harun bin Antaroh (orangnya tertuduh dusta). Sebab itu,
Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if jiddan(lemah sekali)
dalam Irwa’ Al-Gholil (919)
Wahai para muballigh, jika kalian memberikan nasihat kepada para jama’ah, janganlah
menghiasi ceramah kalian dengan hadits-hadits dho’if, dan palsu. Sayangilah
diri kalian sebelum kalian terkena sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi
wasallam-,
وَمَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat
duduknya di neraka”. [HR. Al-Bukhoriy di Shohih-nya(110),
dan Muslim di Shohih-nya (3)]
Periksalah hadits-hadits
yang kalian sampaikan dalam ceramah-ceramah kalian. Jika tidak tahu, maka
belajarlah, dan tanya kepada orang-orang yang berilmu. Janganlah perasaan malu
dan sombong membuat dirimu malu bertanya dan belajar sehingga engkau sendiri
yang menggelincirkan dirimu dalam neraka, wal’iyadzu billah !!
·
Banyak Bercanda dan Tertawa
Dakwah (ceramah)
merupakan salah satu ibadah yang memiliki kedudukan yang agung dan terhormat di
sisi Allah. Oleh karena itu, para dai harus menjaga kehormatan ceramah dan
dakwah yang ia sampaikan, jangan dinodai dengan kata-kata jorok, dusta, dan
ghibah; jangan dipolesi dengan lawak, sebab itu bukanlah kebiasaan Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- dalam berceramah.
Ceramah yang beliau
sampaikan penuh dengan ilmu, hikmah, dan menyentuh hati serta membuat hati
luluh. Dengarkan Irbadh bin Sariyah -radhiyallahu anhu- berkata,
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ , وَوَجِلَتْ
مِنْهَا الْقُلُوْبُ
“Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menasihati kami dengan suatu nasihat yang
membuat mata bercucuran, dan hati bergetar”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4607),
At-Tirmidziy dalamSunan-nya (2676), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya
(42 & 44). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (2455)]
Jabir bin Abdillah -radhiyallahu
anhu- berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ
مُنْذِرُ جَيْشٍ
“Dahulu Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- jika berkhutbah, maka kedua mata beliau memerah,
suara beliau tinggi, dan marahnya memuncak sampai beliau seakan-akan adalah
pemberi peringatan bagi pasukan”. [HR. Muslim
dalam Kitab Al-Jum'ah (2002)]
Perhatikanlah
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam berceramah; beliau tidak
bercanda dan bermain-main dalam berdakwah. Lain halnya kondisi para muballigh
kita pada hari ini; mereka senang tertawa, dan membuat orang terbahak-bahak,
karena hanya sekedar ingin membuat orang senang. Ini jelas menyelisihi jalan
para nabi dalam berdakwah.
Inilah beberapa –bukan
semuanya- diantara gambaran dan kondisi sebagian dai dan muballigh kita yang
terjun dalam kancah dakwah. Semoga tulisan ringkas ini merupakan sumbangsih
dalam memberikan nasihat dan teguran bagi para dai dan muballigh.
Terakhir kami
nasihatkan kepada seluruh kaum muslimin –khususnya para muballigh- agar mereka
semakin memperdalam mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah. Sebab alangkah anehnya
jika seorang muballigh tidak memahami ilmu Al-Qur’an dan Sunnah, baik itu
berupa ilmu Ushul Tafsir, Ushul Fiqihataupun Mushtholah
Hadits. Padahal ketiga ilmu inilah yang akan membantu kita
memahami Al-Qur’an dan Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar