Keluarga
bahagia adalah dambaan setiap insan. Banyak cara yang ditawarkan dan banyak
jalan yang ditempuh untuk menggapainya. Walaupun terkadang berakhir dengan
kekecewaan. Namun bagi setiap muslim, mereka menyadari bahwa rumah tangga Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah potret nyata keluarga bahagia, cermin
utama untuk mewujudkan impian setiap muslim dalam meraih kebahagiaan
dan menciptakan suasana yang harmonis dalam keluarga sehingga mampu menjadikan
rumah mereka seperti surga. Bukan hanya di dunia saja, namun juga sebagai
jembatan menuju negeri akhirat yang kekal tiada sirna.
Keluarga
bisa menjadi surga di dunia, penyejuk hati bagi panasnya penderitaan dunia,
pelepas lelah setelah letih bekerja dan pemupuk semangat kerja. Namun keluarga
bisa pula menjadi neraka dunia, pemusnah harapan dan cita-cita. Oleh karenanya,
mulianya akhlak seseorang atau bejatnya moral seseorang , seringnya berawal
dari keluarga.
Pada
edisi kali ini, kami akan mengantar para pembaca yang budiman untuk menyimak
kehidupaan rumah tangga Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Menikmati
indahnya surga dunia dan melihat Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam –
dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk selanjutnya kita dapat
meneladaninya. Sebab hal itu merupakan jaminan untuk meraih kebahagiaan yang
kita dambakan. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. ”. (QS. Al-Ahzaab : 21)
Berlemah
lembut kepada wanita dan berupaya menggapai cintanya.
Seorang
suami hendaknya berlaku lemah lembut kepada istrinya dan begitu pula
sebaliknya. Penuh kasih sayang kepadanya, berakhlak yang mulia serta bergaul
yang baik terhadap keluarganya. Sebab hal itu akan mewujudkan keluarga yang
mawaddah wa rahmah. Demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi- Shallallahu
‘alaihi wa sallam - agar menjadi teladan bagi umatnya dan senantiasa
menghiasi diri mereka dengan akhlak tersebut.
عن عائشة رضي الله عنها قالت
: ( دعاني رسول الله صلى الله عليه وسلم ودخل الحبشة يلعبون بحرابهم في
المسجد [ في يوم عيد] فقال لي : يا حميراء أتحبين أن تنظري إليهم ؟ فقلت : نعم
فقام بالباب وجئته فوضعت ذقني على عاتقه وأسندت وجهي إلى خده قالت : ومن
قولهم يومئذ : أبا القاسم طيبا. حتى إذا مللت قال : حسبك: قلت : لا
تعجل فقام لي ثم قال : حسبك ؟ قلت : لا تعجل قالت : ما بي حب النظر إليهم
ولكن أحببت أن يبلغ النساء مقامه لي ومكاني منه حتى شبعت
“Dari
Aisyah istri Nabi- Shallallahu ‘alaihi wa sallam -berkata, “Orang-orang
Habasyah masuk ke masjid mengadakan permainan [di hari ‘ied]. Nabi –
Shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda kepadaku, “Wahai Humaira, apakah
engkau suka melihat permainan mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau bangkit
menuju pintu. Akupun mengikutinya. Kuletakkan daguku pada pundaknya dan
kutempelkan wajahku pada pipi beliau. Aisyah bertutur, “Diantara perkataan
mereka pada hari itu adalah , “Abu Qosim yang baik.”Rasulullah – Shallallahu
‘alaihi wa sallam -bersabda, “Cukup?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, jangan
tergesa-gesa.” Lalu beliau bangkit dan berkata lagi ,”Sudah cukup?” Aku menjawab,
“Jangan tergesa-gesa, wahai Rasulullah”. Aisyah berkata,”Sebenarnya bukan
karena aku suka melihat permainan mereka. Tetapi aku ingin agar para wanita
mngetahui kedudukanku di sisi Beliau – Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan
kedudukan beliau di sisiku.” [HR.
HR. Al-Bukhoriy, Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (no.8951).
Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ats-Tsamr Al-Mustathob (2/802)]
Dalam
hadits ini terdapat beberapa faedah yang bisa kita petik:
·
Pentingnya bersikap lembut dan berupaya meraih cinta wanita
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah - Shallallahu ‘alaihi wa
sallam – kepada ‘Aisyah untuk mengajaknya menyaksikan permainan tombak
orang-orang Habasyah di masjid pada hari ‘ied. Lantaran itu, sepantasnyalah
bagi setiap muslim untuk meneladani Nabinya -Shallallahu alaihi wa sallam-
dalam membahagiakan istri-istri mereka dan berupaya meraih cinta istrinya.
Sebab hal itu akan memberikan rasa bahagia tersendiri di sisi para istri dan
menyadari bahwa begitu berartinya diri seorang istri di sisi suaminya. Namun,
terkadang kondisi seperti ini banyak disalahartikan oleh sebagian wanita di
zaman ini. Mereka senantiasa dimanjakan oleh suami mereka sehingga
menjadi wanita yang tidak bersyukur dan ingkar kepada kebaikan suami.
Kondisi inilah yang pernah disabdakan oleh Rasulullah – ketika beliau berkata,
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا
أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟
, قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى
إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ
مِنْكَ خَيْراً قَطُّ
“Telah
diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah wanita,
mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “Apakah mereka kufur (ingkar)
kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka
mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada
salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang
tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak
pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya
(29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Al-Imam Abul Walid Al-Baaji -rahimahullah- berkata, “Sabda beliau, “Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah
seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak
berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah
melihat kebaikan pada dirimu” sabda ini merupakan
wejangan dan kecaman mengingkari kebaikan suami dan menolaknya ketika terjadi
perubahan dan terjadinya sesuatu berupa kesalahan, karena tak ada seorang
pun -seiring lamanya pergaulan- yang selamat dari kesalahan atau
pelanggaran dalam ucapan dan perbuatan. Lantaran itu, kebaikannya yang banyak
dan pemberiannya yang dulu jangan diingkari”. [Lihat Al-Muntaqo
Syarh Al-Muwaththo’ (1/454)]
Wanita-wanita
durhaka seperti ini selalu ingin mengalahkan serta menguasai suami mereka. Para
wanita semacam ini tidak memiliki kehormatan dan akan dipandang hina oleh
masyarakatnya, sebab menyalahi kodrat dan fitrah yang telah Allah karuniakan
kepada pria dan wanita. Allah –Ta’ala-berfirman,
“Kaum
laki-laki itu adalah peemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (para pria) atas sebagian yang lain(wanita)”. (QS.
An-Nisa’: 34)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir -rahimahullah-
berkata, “Maksudnya, Laki-laki adalah pengurus wanita, yakni
pemimpinnya, pembesarnya, pemutus urusannya dan pendidiknya jika ia bengkok
karena sesuatu yang Allah anugerahkan kepada sebagiannya atas sebagian yang
lainnya. Maksudnya, para lelaki lebih utama dibandingkan kaum wanita. Laki-laki
lebih baik dibandingkan wanita. Karena inilah, kenabian khusus ada pada kaum
lelaki. Demikian pula kekuasaan tertinggi (khusus bagi kaum lelaki)”.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/292)]
·
Memberikan keleluasaan kepada keluarga pada hari raya dengan
berbagai sarana penyegar (refreshing) dan melonggarkan otot-otot tubuh.
Tentunya yang sesuai dengan apa yang dihalalkan dan dibolehkan Allah –Subhana
wa Ta’ala- pada sebagian waktu, seperti pada hari raya.
·
Menampakkan kegembiraan pada hari raya termasuk dari syi’ar
agama. Oleh karena itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saat melihat Abu
Bakr -radhiyallahu anhu- mengingkari beberapa wanita cilik yang bernyanyi
(sedang mereka bukan biduan), maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
membolehkan mereka seraya bersabda,
“Wahai
Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki ied (hari raya), sedang ini adalah
ied kita”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 952) dan Muslim (no. 2058)]
Hadits
ini menjelaskan bahwa bernyanyi bagi wanita cilik dan bermain di hari ied
adalah perkara yang boleh selama permainan itu bukan maksiat. Namun nyanyian
itu tak boleh diiringi oleh alat musik. Adapun rebana yang tak ada
gemerincingnya, maka syariat memberikan keringanan padanya untuk digunakan oleh
wanita-wanita cilik di hari ied atau perkawinan. Sedang alat musik lainnya,
diharamkan dalam Islam, baik di hari ied atau yang lainnya sebagimana
dijelaskan dalam sebuah hadits Shohih Al-Bukhoriy (no.
5590).
·
Penjelasan tentang sifat Rasulullah – Shallallahu
‘alaihi wa sallam - yang lembut, penuh kasih sayang dan berakhlak yang
baik terhadap keluarga, istri dan yang lainnya. Sudah selayaknya bagi para
suami untuk menghiasi dirinya dengan akhlak tersebut. Begitu pula bagi sang
istri untuk bersifat lembut terhadap suaminya. Jika muka masam adalah racun
wajahmu, membosankan adalah karaktermu dan mengkritik adalah penilaianmu kepada
orang lain, maka engkau termasuk dalam deretan orang-orang yang sengsara
hidupnya. Haruslah diingat bahwa kebahagiaan berasal dari hati yang tercermin
dalam sikap dan raut wajah. Oleh karenanya, mayoritas orang yang mendapatkan
kebahagiaan adalah orang yang ramah dan senantiasa tersenyum terhadap segala
takdir Allah. Sekarang, perhatikanlah wajah anda di cermin!
·
Penjelasan tentang keutamaan Aisyah –Rhodiyallahu anha-,
ketinggian kedudukannya di sisi Nabi- Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dan kecintaan beliau padanya. Oleh karena itu, ketika beliau – Shallallahu
‘alaihi wa sallam – ditanya,
أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟
قَالَ: عَائِشَةُ
“Siapakah
orang yang paling anda cintai?” Beliau
menjawab, “Aisyah”.[HR. Bukhariy (no. 3662) danMuslim (no.
6127)].
·
Diantara perkara yang menumbuhkan kasih sayang adalah memanggil
seseorang dengan panggilan yang disukai orang tersebut atau yang diperkirakan
bahwa panggilan itu disukainya. Khususnya nama yang bersifat memanjakan. Hal
ini dalam konteks ucapan dan adab bergaul antara suami-istri.
Dengan demikian, kondisi ini akan menambah perasaan cinta dan penghormatan.
Oleh karenanya, Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wa sallam –
telah memanggil Aisyah - Rhodiyallahu anha – dengan sebutan, “Ya
Humaira’”. Ini adalah bentuktasghir (pengecilan) dari hamra’.
Maknanya, yang kemerah-merahan, tapi yang dimaksud si putih. [Lihat An-Nihayah
fi Ghorib Al-Hadits (/) oleh Ibnul Atsir Al-Jazariy]
·
Beliau - Shallallahu ‘alaihi wa sallam –
terkadang memanggilnya dengan panggilan tarkhimyaitu mengucapkannya
dengan jelas dan memudahkan pengucapannya dengan cara membuang satu huruf atau
lebih pada akhir kata. Dengan panggilan tarkhim itu lebih
menunjukkan pada kedekatan dan kasih sayang. Bahkan terkadang Beliau- Shallallahu
‘alaihi wa sallam- memanggil Aisyah dengan nama,
يَا عَائِشَ هَذَا جِبْرِيلُ
يُقْرِئُكِ السَّلَامَ
“Ya
‘Aisy, ini Jibril mengucapkan salam kepadamu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya
(3217, 3768, 6201 & 6249) dan Muslim dalam Shohih-nya
(no. 6254)]
Inilah
beberapa lentera kehidupan rumah tangga yang bahagia di dunia dan di akhirat.
Rumah tangga yang penuh dengan cahaya, kelapangan hati, dan rasa saling
memahami dan saling mencintai. Rumah tangga yang dirajut oleh cinta yang suci,
cinta yang dilandasi keikhlasan dalam ketundukan dan ketaatan kepada Sang
Pencipta, Allah -Azza wa Jalla- demi meraih keberuntungan abadi di sisi-Nya
kelak, insyaa Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar