Termasuk keunikan negeri kita
ini, Indonesia, yang mungkin tidak terjadi pada negeri-negeri lain, terjadinya
silang pendapat dalam penentuan hari-hari penting umat Islam. Yang lebih
disayangkan adalah bahwa silang pendapat ini hampir terjadi setiap tahun belakangan
ini. Semoga hal tersebut tidak terjadi pada Ramadhan 1435 H mendatang.
Berikut beberapa nasihat dan
pijakan agar tidak terjadi silang pendapat seputar masuknya bulan Ramadhan dan
hari penting umat Islam lainnya.
Pertama,
dalam Islam, penentuan masuknya bulan Ramadhan dan bulan lainnya hanyalah
dikenal dengan cara melihat hilal atau menggenapkan bulan menjadi tiga puluh
hari pada saat hilal tidak terlihat.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“… Maka, barangsiapa di antara
kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah:
185]
Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا
ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena
melihat (hilal) tersebut, dan berbukalah kalian karena melihat (hilal)
tersebut. Lalu, apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan
(Sya’ban) itu menjadi tiga puluh (hari).”[1]
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ،
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ
«وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
“Sesungguhnya kami adalah
umat ummiyah, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu
begini, begini, dan begini -seraya beliau melipat ibu jarinya pada kali ketiga
(yakni dua puluh sembilan hari)-. Bulan itu begini, begini dan begini -yakni
tiga puluh hari secara sempurna -.”[2]
Dari dua hadits di atas -dan
banyak lagi hadits lainnya- dapat diketahui bahwa, dalam Islam, jumlah hari
dalam sebulan hanyalah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari. Tidaklah
dikenal bahwa bulan Islam berakhir dengan tanggal 28 atau 31.
Dari ayat dan hadits-hadits di
atas, kita bisa mengetahui secara pasti bahwa penentuan masuknya bulan dalam
Islam hanyalah dengan dua cara:
1. Rukyat hilal, yaitu penampakan
hilal setelah matahari terbenam pada tanggal 29.
2. Ikmâl ‘penyempurnaan’,
yaitu menyempurnakan bulan menjadi tiga puluh hari di kala hilal tidak terlihat
pada tanggal 29 setelah matahari terbenam.
Ibnu Hubairah berkata, “(Para
ulama) bersepakat bahwa puasa Ramadhan menjadi wajib dengan rukyat hilal atau
meng-ikmâl Sya’ban menjadi tiga puluh hari ketika tidak ada rukyat,
sedang mathla’ (tempat terbit hilal) kosong dari penghalang untuk melihat.”[3]
Demikian pula dinukil kesepakatan
oleh Ibnul Mundzir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar[4].
Kedua,
penentuan masuknya bulan dengan ilmu hisab atau ilmu falak adalah hal yang
tidak dikenal dalam Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Sesungguhnya kita mengetahui secara aksioma dalam agama Islam bahwa
dalam rukyat hilal puasa, haji, iddah, îlâ`, dan selainnya berupa
hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, beramal (padanya) dengan menggunakan
berita ahli hisab -bahwa hilal dilihat atau belum- adalah tidak boleh.
Nash-nash mustafîdhah (masyhur dan sangat banyak) dari
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut
sangatlah banyak. Kaum muslimin telah bersepakat tentang (ketidakbolehan
penggunaan berita ahli hisab) tersebut. Sama sekali tidaklah diketahui ada
silang pendapat dalam hal tersebut – baik dahulu maupun belakangan-, kecuali
sebagian orang-orang belakangan setelah abad ke-3 yang senang dengan ilmu
fiqih. (Orang tersebut) menyangka bahwa ahli hisab boleh beramal dengan hisab
untuk dirinya sendiri jika hisabnya menunjukkan rukyat. Bila tidak menunjukkan,
hal tersebut tidak diperbolehkan. Pendapat ini -walaupun terbatas pada keadaan
mendung dan terkhusus bagi si ahli hisab itu sendiri- adalah pendapat
yang syâdz ‘aneh, ganjil’, telah diselisihi oleh ijma’
(kesepakatan ulama) sebelumnya. Adapun mengikuti (ilmu hisab) tersebut dalam
keadaan (cuaca) tidak berawan atau memakai (ilmu hisab) sebagai hukum umum pada
segala keadaan, hal tersebut tidaklah diucapkan oleh seorang muslim pun.”[5]
Dari keterangan di atas, jelaslah
bahwa kerusakan penggunaan ilmu hisab dalam penentuan masuknya Ramadhan bisa
disimpulkan pada empat perkara:
1. Menyalahi ayat dan
hadits-hadits yang menjelaskan bahwa masuknya bulan hanyalah dengan dua cara:
rukyat hilal dan ikmâl.
2. Membuang jalan
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam penentuan
masuknya bulan dengan memakai ilmu hisab sebagai pengganti (jalan) tersebut.
3. Menentang jalan dan
kesepakatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang tidak
pernah menggunakan ilmu hisab.
4. Menyelisihi kesepakatan ulama
yang telah diterangkan oleh Ibnu Taimiyah[6],
Ibnu ‘Abdil Barr[7],
dan selainnya.
Hendaknya orang-orang yang
mengumpulkan empat kerusakan di atas bersiap untuk menuai ancaman Allah ‘Azza
wa Jalla sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا.
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul, sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia
kuasai itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, sedang Jahannam itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisâ`: 115]
Namun, kami perlu mengingatkan
bahwa keterangan di atas tidak menunjukkan akan keharaman penggunaan ilmu hisab
dalam hal yang diperbolehkan. Kami hanya menegaskan kesalahan orang-orang yang
menggunakan ilmu hisab sebagai penentu final masuknya bulan, atau semata
berdasar pada ilmu hisab dalam menentukan masuknya bulan.
Ketiga,
hilal adalah bulan sabit kecil yang muncul pada awal bulan.
Orang Arab menyebut bulan sabit
kecil pada malam pertama, kedua, dan ketiga dengan nama hilal.
Adapun bulan yang muncul pada malam keempat dan seterusnya, orang Arab
menyebutnya dengan nama qamar (bulan).[8]
Hilal, yang dianggap sebagai
tanda awal bulan, adalah bulan sabit kecil yang tampak setelah matahari
terbenam. Telah datang sejumlah atsar dari para shahabat yang menunjukkan bahwa
hilal yang teranggap sebagai awal bulan adalah yang terlihat setelah matahari
terbenam[9].
Bahkan, Ibnu Hazm menukil kesepakatan ulama tentang hal tersebut[10].
Dari penjelasan di atas, bisa
diketahui dua kesalahan yang sering terjadi:
1. Menganggap bahwa hilal mungkin
terlihat sebelum matahari terbenam.
Anggapan tersebut telah kita
jumpai pada kejadian Kamis sore kemarin, 19 Juli 2012, yaitu bahwa seseorang
orang menganggap telah melihat hilal pada pukul 17:53, padahal waktu Maghrib di
wilayah tersebut masih beberapa menit lagi setelah itu.
2. Pembatasan bahwa tinggi hilal
ketika dilihat hanya sah bila berada pada dua derajat atau lebih.
Ini adalah pembatasan yang tidak
benar karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memberi tuntunan dengan hitungan ketinggian dua derajat, tetapi beliau memberi
tuntunan umum bagi siapa saja yang melihat hilal, yakni pada ketinggian
berapapun setelah matahari terbenam.
Keempat, penentuan
masuknya bulan adalah wewenang pemerintah (Ulil Amri).
Imam Ibnu Jamâ’ah Asy-Syâfi’iy
menjelaskan beberapa wewenang pemerintah, yang merupakan kewajibannya kepada
rakyat. Di antaranya adalah, “Wewenang Ketiga: penegakan simbol-simbol Islam,
seperti shalat-shalat wajib, shalat Jum’at, shalat berjamaah, adzan, iqamah,
khutbah, dan keimaman. Juga mengawasi urusan puasa, berbuka, hilal, haji ke
Baitullah, dan umrah. Juga memperhatikan hari-hari Id ….”[11]
Oleh karena itu, saat pemerintah
Indonesia telah menetapkan bahwa 1 Ramadhan 1435 H jatuh pada Sabtu, 28 Juni
2014 karena melihat hilal, atau menetapkan hari Ahad 29 Juni 2014 karena
menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari, berarti putusan tersebut telah
benar dan telah berdasarkan petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam
penentuan masuknya bulan.
Kewajiban kita, selama pemerintah
tidak memerintah dalam hal yang mungkar, adalah taat kepada mereka dalam hal
yang ma’ruf. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatlah kepada Allah, serta taatlah kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara
kalian.” [An-Nisâ`: 59]
Dari ‘Ubâdah bin Ash-Shâmit radhiyallâhu
‘anhu, beliau berkata,
دَعَانَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا،
وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا، وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا
نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحاً عِنْدَكُمْ
مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
“Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam memanggil kami, lalu kami membaiat beliau, dan di antara
(janji) yang beliau ambil atas kami adalah, ‘Kami berbaiat untuk mendengar dan
menaati (pemimpin) dalam keadaan semangat dan terpaksa, serta dalam keadaan
mudah dan susah, meski terjadi pementingan hak pribadi terhadap kami, serta
kami tidak boleh menggugat perkara itu dari pemiliknya, kecuali bila kalian
melihat kekufuran yang sangat nyata, yang kalian memiliki argumen tentang
(kekufuran) itu di sisi Allah.’.”[12]
Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam juga bersabda,
إِسْمَعْ
وَأَطِعْ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ، وَأَثَرَةٍ
عَلَيْكَ، وَإِنْ أَكَلُوْا مَالَكَ، وَضَرَبُوْا ظَهْرَكَ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ
مَعْصِيَةً.
“Dengar dan taatlah pada waktu
susah dan mudah serta dalam keadaan bersemangat dan terpaksa, meski terjadi
pementingan hak pribadi terhadapmu, juga walaupun mereka memakan hartamu dan
memukul punggungmu, kecuali jika hal tersebut merupakan suatu maksiat.”[13]
Hadits-hadits yang semakna dengan
hadits di atas sangatlah banyak.
Kelima,
terjadi silang pendapat di kalangan ulama bahwa, bila hilal telah terlihat pada
suatu negeri, apakah rukyat hilal tersebut berlaku juga untuk penduduk negeri
yang lain?
Terdapat silang pendapat di
kalangan ulama baik terdahulu maupun belakangan- tentang hal tersebut. Walaupun
pendapat yang menyatakan rukyat hilal tersebut berlaku untuk seluruh
negeri itu lebih kuat, hal tersebut lebih berlaku tatkala seluruh kaum
muslimin dipimpin oleh seorang pemimpin atau pada keadaan-keadaan tertentu.
Adapun keberadaan pemerintah kita
yang telah menetapkan masuknya Ramadhan berdasarkan rukyat hilal dan telah
diikuti oleh kebanyakan manusia, tidak ada alasan bagi rakyat untuk menyelisihi
ketetapan tersebut. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa itu adalah hari kalian
berpuasa. Berbuka itu adalah hari kalian berbuka. Adh-hâ itu
adalah hari kalian ber-udh-hiyah.”[14]
Setelah meriwayatkan hadits di
atas, Imam At-Tirmidzy berkata, “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan
perkataannya, ‘Sesungguhnya maknanya adalah bahwa berpuasa dan berbuka itu
(dilaksanakan) bersama jamaah dan kebanyakan manusia.’.”
Pada akhir makalah ini, kami
mengingatkan kaum muslimin akan etika dan adab agung dari para ulama dalam hal
berbeda pendapat.
Pada masa pemerintahan Utsman bin
Affan radhiyallâhu ‘anhu, beliau mengerjakan shalat di Mina secara
sempurna tanpa mengqashar. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu
‘anhu berbeda pendapat dengan Utsman seraya berargumen bahwa
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta Abu Bakr dan
Umar radhiyallâhu ‘anhumâ mengerjakan shalat dengan qashar.
Namun, ketika Utsman mengimami shalat, Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu -yang
bermakmum kepada Utsman- ikut mengerjakan shalat secara sempurna bersama
Utsman. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu
‘anhu, beliau menjawab,
الْخِلَافُ
شَرٌّ
“Perbedaan pendapat adalah
kejelekan.”[15]
Juga perhatikanlah bagaimana Ali
bin Abi Thalib melaksanakan haji Qiran karena diperintah oleh Utsman bin Affan,
padahal Ali sendiri berpendapat dengan haji Tamattu’[16].
Semoga Allah menyatukan kaum
muslimin di atas Al-Qur`an dan Sunnah, serta menghindarkan mereka dari segala
sebab perselisihan dan perpecahan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar