Senin, Juni 16, 2014

Pentingnya Seorang Guru (Syaikh) Memperbaiki Niat Muridnya

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
Di kala menuntut ilmu wahyu, sebagian murid terkadang memiliki niat busuk, misalnya ia belajar ke Madinah atau ke Yaman dan lainnya, hanya sekedar mencari popularitas, kedudukan dan dunia.
Disinilah pentingnya seorang guru (syaikh atau ustadz) untuk selalu mengajari para pencari ilmu tentang ilmu-ilmu adab dan akhlak yang dapat membersihkan niat buruk mereka.
……………………………………………………………………
Tidak heran bila Syaikh Abdullah Al-Mar’iy -hafizhahullah- pernah mewasiatkan agar kitab“Mukhtashor Minhajil Qoshidin” diajarkan kepada para santri dan lainnya. Karena kitab ini memiliki pembahasan yang mengarah kepada usaha pembersihan jiwa dari segala macam penyakit-penyakit hati, berupa riya’, cinta dunia, hasad, sombong, dan lainnya.
Perkara seperti ini amat penting kita perhatikan sebagaimana halnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu amat memperhatikan kesucian hati para sahabatnya.
Allah -Ta’ala- berfirman,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ  [آل عمران/164]
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali Imraan : 164)
Di dalam ayat lain, Allah berfirman tentang tugas Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- saat diutus kepada umat manusia,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ  [الجمعة/2]
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata“. (QS. Al-Jumu’ah : 02)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata,
أي: يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر لتزكُوَ نفوسهم وتطهر من الدَّنَسِ والخَبَث الذي كانوا متلبسين به في حال شركهم وجاهليتهم
“Maksudnya, dia (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) memerintahkan kepada mereka hal yang ma’ruf dan melarang mereka dari hal yang munkar agar jiwa mereka bersih dan suci dari kotoran dan kekejian yang mereka berlumuran dengannya di saat dulu mereka berbuat syirik dan jahiliah”. [Lihat Tafsir Ibn Katsir(2/158)]
Dua ayat itu menerangkan bahwa tugas Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah menyucikan hati para sahabat dengan cara memerintahkan mereka memperbanyak amal sholih –dan itulah perkara ma’ruf-, serta melarang mereka dari segala macam maksiat, baik itu berupa, kekafiran, kesyirikan, dosa (besar, maupun kecil), dan bid’ah.
Al-Allamah Abul Fadhl Mahmud Syukri Al-Alusiy -rahimahullah- berkata saat mengomentari ayat di atas,
أي يدعوهم إلى ما يكونون به زاكين طاهرين مما كان فيهم من دنس الجاهلية أو من خبائث الاعتقادات الفاسدة كالاعتقادات التي كان عليها مشركو العرب وأهل الكتابين
“yakni, mengajak mereka kepada sesuatu yang dengannya mereka akan bersih dan suci dari segala hal yang dulu ada pada mereka berupa kotoran jahiliah atau noda-noda berbagai keyakinan rusak, seperti keyakinan-keyakinan yang dahulu dipijaki oleh kaum musyrikin Arab dan Ahlul Kitabain (Yahudi dan Nashrani)”. [Lihat Ruhul Ma'ani (4/114) oleh Al-Alusiy, cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arabiy]
……………………………………………………………
Para pembaca yang budiman, setiap hamba wajib membersihkan dirinya dari hal-hal itu. Apalagi ia adalah seorang penuntut ilmu agama yang sibuk mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Satu perkara yang miris, saat kita melihat seorang santri yang berlumuran dengan noda-noda dosa yang mengotori hati dan raganya.
Dalam tulisan ringkas ini, sengaja kami menyinggung pentingnya penyucian hati bagi para thullabul ilmi (pencari ilmu), karena mereka kelak akan menjadi penasihat dan pembimbing umat. Sebelum terjun ke lapangan, seyogianya mereka membersihkan diri dari dosa dan maksiat, dan terkhusus lagi dari penyakit-penyakit hati, seperti : riya, sum’ah, sombong, hasad, dengki, pemarah, cinta dunia dan lainnya.
Al-Allamah Muhammad Ibnul Hajj Al-Fasiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata,
((فإني كنت كثيرا ما أسمع سيدي الشيخ العمدة العالم العامل المحقق القدوة أبا محمد عبد الله بن أبي حمزة يقول: “وددت أنه لو كان من الفقهاء من ليس له شغل إلا أن يعلم الناس مقاصدهم في أعمالهم ويقعد إلى التدريس في أعمال النيات ليس إلا” أو كلاما هذا معناه)) اهـ
“Sungguh seringkali aku mendengar Asy-Syaikh Al-Umdah Al-Alim Al-Amil Al-Muhaqqiq Al-Qudwah, Abu Muhammad Abdullah bin Abi Hamzah berkata, “Aku senang (berharap) andaikan ada dari kalangan para ahli fiqih (ulama) yang tidak memiliki kesibukan, selain mengajari manusia tentang tujuan-tujuan (tendensi-tendensi) mereka dalam amalan mereka dan duduk untuk mengajar tentang pekerjaan niat. Tidak ada (kesibukannya) selain itu”, atau ucapan yang semakna dengan ini”. [Lihat Al-Madkhol (1/3), cet. Darul Fikr, 1401 H]
Mengapa guru dari Ibnul Hajj Al-Malikiy -rahimahullah- amat mengharap agar para ulama membahas dan mengajarkan kepada manusia tentang amalan-amalan yang berkaitan dengan niat yang bercokol dalam hati mereka? Sebab, niat yang ada dalam hati amat kuat pengaruhnya dalam mengarahkan seorang hamba kepada tujuannya, entah itu tujuan baik atau tujuan buruk.
……………………………………………………
Kita ambilkan sebuah contoh dengan seorang penuntut ilmu syar’iy yang memiliki penyakit hati berupa hasad. Di hari-harinya mencari ilmu, ia nodai dirinya dengan hasad, sehingga tidak senang jika diantara kawannya yang melebihi dirinya dalam meraih ilmu. Jika ada yang melebihinya, maka ia pun membencinya, menjauhinya, meng-ghibahinya, mengarahkan manusia agar mereka membencinya.
……………………………………………………………..
Contoh lain, seorang ustadz yan riya’. Ia selalu menampilkan dirinya agar ia yang paling berilmu. Tidak yang berhak menurutnya untuk berbicara, membantah dan berkomentar, selain dirinya. Bahkan terkadang ia berani berbicara dalam perkara yang bukan haknya untuk berbicara di dalamnya. Yang berhak adalah ulama. Namun karena ia ingin diperhatikan dan disanjung, maka ia pun mulai berbicara kesana-kemari. Padahal itu bukanlah levelnya.
Inilah yang penting diwaspadai oleh para penuntut ilmu agar ia selalu memeriksa niat dan tujuannya dalam mencari dan mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah.
Terkadang seorang penuntut ilmu ditunggangi oleh setan. Ia bangkit melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, namun setan menunggangi dirinya, lalu membisikkan sesuatu kepadanya bahwa dia (si penuntut ilmu) ini adalah seorang yang paling hebat, paling berilmu, dan paling suci. Yang lain adalah orang-orang yang penuh kekurangan dan penyimpangan. Lalu ia pun sibuk membantah, mendebat, membongkar aib orang lain (yang terkadang dari kalangan Ahlus Sunnah), berburuk sangka kepada yang lain dan membenci semua orang yang tidak sependapat dengan dirinya.
Sementara itu ia tidak sadar bahwa itu adalah kesombongan yang lahir pada dirinya akibat kejahilan dan godaan setan.
Wahai saudaraku sang penuntut ilmu, sadarkah dirimu bahwa di atas orang yang berilmu, masih ada yang lebih berilmu dibandingkan dirinya.
Disini akan tampak bagi anda berat dan susahnya memperbaiki niat. Karena hati yang tersembunyi, gerakannya begitu halus bagaikan semut hitam yang merayap di atas batu hitam di malam yang gelap gulita.
Tidak heran jika Al-Imam Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauriy -rahimahullah- berkata,
ما عالجت شيئا أشد عليَّ من نفسي
“Tidak pernah aku mengatasi sesuatu yang lebih susah bagiku dibandingkan jiwaku”. [HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (7/62)]
Di dalam riwayat yang lain, Sufyan Ats-Tsauriy -rahimahullah- berkata,
ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتغلب علي
“Tidak pernah aku mengatasi sesuatu yang lebih susah bagiku dibandingkan niatku, karena ia (niatku) menguasaiku”. [HR. Ibnu Abid Dun-ya dalam Al-Ikhlash wan Niyyah (no. 65)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar