Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah
Sesorang harus selalu
waspada dengan dirinya saat ia beramal ibadah dan ketaatan kepada Allah -Azza
wa Jalla-. Sebab, sebagian orang, atau bahkan diantara manusia ada yang tertipu
dengan amal sholih yang ia kerjakan. Dia pun berbangga dan sombong dengan amal
sholih yang telah ia tunaikan. Ia tidak punya usaha untuk mengecek dan
menimbang amal sholihnya; apakah diterima di sisi Allah atau tidak. Jika
amalnya diterima dan diberi ganjaran pahala dan surga, maka itulah kebaikan
besar yang harus ia syukuri. Namun jika amal sholihnya ternyata tidak
diterima, maka ini adalah dua kerugian: kerugian dunia dan akhirat!!
Di akhirat nanti, ada
orang-orang Islam yang mengalami nasib seperti nasibnya orang-orang kafir. Di
dunia, ia melihat banyak amal sholih yang telah ia kerjakan, namun di akhirat
pahala dan kebaikannya dihancurkan oleh Allah, akibat ulahnya sendiri.
Orang seperti ini
bagaikan orang yang melihat fatamorgana yang ia sangka air. Namun di saat ia
mendekat, ternyata hilang dan hanya sekedar bayangan yang tidak berguna !!
Allah -Ta’ala-
berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ
بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآَنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ
شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ
الْحِسَابِ (39) أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ
فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا
أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا
فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40) [النور/39، 40]
“Dan orang-orang
kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang
disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia
tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya,
lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah
adalah sangat cepat perhitungan-Nya; atau seperti gelap gulita di lautan yang
dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya
(lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan
tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi
cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS.
An-Nuur : 39-40)
Amalan sholih yang
banyak tidak akan bermanfaat bagi orang-orang yang tidak beriman. Demikian pula
bila ia beriman, namun amalannya bukan karena Allah dan pahala di negeri
akhirat, maka ia juga mendapatkan kerugian dan penyesalan di akhirat.
Allah -Subhanahu wa
Ta’ala- berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ
أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا
يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
[إبراهيم/18]
“Orang-orang yang
kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang
ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka
tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan
(di dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh”. (QS. Ibrahim
: 18)
Amalan mereka manis
(baca: baik), namun berbuah pahit (baca: buruk). Karena, amalan mereka menjadi sia-sia dan hancur serta menjadi
sebab ia merugi di akhirat.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu
Katsir -rahimahullah- berkata,
“Ini merupakan
perumpamaan yang Allah -Ta’ala- berikan bagi amalan orang-orang kafir yang
menyembah selain Allah bersama-Nya, mendustakan para rasul dan membangun amalan
mereka di atas dasar yang tidak benar. Akhirnya, amalan mereka
roboh dan mereka pun kehilangan sesuatu yang paling mereka butuhkan (berupa
amal-amal sholih)”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (4/486-487),
karya Ibnu Katsir, cet. Dar Thoibah, 1421 H]
Ketahuilah bahwa di
hari kiamat akan melihat amal-amal sholih diberi ganjaran. Tapi dengan syarat
ia beriman, ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti sunnah Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jika tidak memenuhi
syarat-syarat ini, maka amalannya akan hancur tidak berguna. Allah -Azza wa
Jalla- berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا (23) [الفرقان : 23]
“Dan Kami datang
kepada segala amal yang mereka telah kerjakan (di dunia), lalu Kami jadikan
amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS. Al-Furqon : 23)
Di hari-hari ini, hari
tersebarnya kebodohan dan kejahilan tentang agama, seorang mukmin harus waspada
dan lebih perhatian dengan kualitas amal sholihnya.
Sebab di hari ini
banyak hal-hal yang merusak amal sholih kita dan setan juga memiliki bala
tentara yang akan menipu dan memperdaya manusia agar mereka menjadi celaka.
Para pembaca yang
budiman, salah satu diantara makar setan adalah ia mendorong manusia melakukan
amal-amal sholih. Namun di balik amal-amal sholih itu mendapatkan tendensi
duniawi yang merusak pahala dan niat seorang hamba.
Inilah yang
diisyaratkan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا
يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ
وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ} [سورة هود آية:
15-16]
“Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud :
15-16)
Syaikh Muhammad bin
Sulaiman At-Tamimiy -rahimahullah-
berkata,
قد ذكر عن السلف من أهل العلم فيها أنواع مما
يفعل الناس اليوم ولا يعرفون معناه.
الأول: من ذلك العمل الصالح الذي يفعل كثير من
الناس ابتغاء وجه الله، من صدقة وصلة وإحسان إلى الناس، ونحو ذلك; وكذلك ترك ظلم،
أو كلام في عرض، ونحو ذلك مما يفعله الإنسان أو يتركه خالصا لله، لكنه لا يريد
ثوابه في الآخرة؛ إنما يريد أن الله يجازيه بحفظ ماله وتنميته، وحفظ أهله وعياله،
وإدامة النعمة عليهم ونحو ذلك؛ ولا همة له في طلب الجنة، ولا الهرب من النار. فهذا
يعطى ثواب عمله في الدنيا، وليس له في الآخرة نصيب.
وهذا النوع ذكر عن ابن عباس في تفسير الآية، وقد
غلط بعض مشائخنا بسبب عبارة في شرح الإقناع، في أول باب النية، لما قسم الإخلاص
مراتب، وذكر هذا منها، ظن أنه يسميه إخلاصا مدحا له، وليس كذلك; وإنما أراد أنه لا
يسمى رياء، وإلا فهو عمل حابط في الآخرة.
والنوع الثاني: وهو أكبر من الأول وأخوف،
وهو الذي ذكر مجاهد أن الآية نزلت فيه، وهو أن يعمل أعمالا صالحة ونيته رئاء الناس،
لا طلب ثواب الآخرة; وهو يظهر أنه أراد وجه الله، وإنما صلى، أو صام، أو تصدق، أو
طلب العلم، لأجل أن الناس يمدحونه ويجل في أعينهم، فإن الجاه من أعظم أنواع
الدنيا.
“ولما ذكر لمعاوية حديث أبي هريرة، في الثلاثة
الذين هم أول من تسعر بهم النار، وهم: الذي تعلم العلم ليقال عالم حتى قيل، وتصدق
ليقال جواد، وجاهد ليقال شجاع، بكى معاوية بكاء شديدا، ثم قرأ هذه الآية” .
النوع الثالث: أن يعمل الأعمال الصالحة، ومقصده
بها مالا، مثل أن يحج لمال يأخذه لا لله، أو يهاجر لدنيا يصيبها، أو امرأة ينكحها،
أو يجاهد لأجل المغنم، فقد ذكر هذا النوع أيضا في تفسير هذه الآية، كما في الصحيح:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “تعس عبد الدينار، تعس عبد الدرهم، تعس عبد
الخميصة” إلخ.
وكما يتعلم العلم لأجل مدرسة أهله، أو مكسبهم أو
رياستهم، أو يقرأ القرآن ويواظب على الصلاة، لأجل وظيفة المسجد، كما هو واقع
كثيرا; وهؤلاء أعقل من الذين قبلهم، لأنهم عملوا لمصلحة يحصلونها; والذين قبلهم
عملوا لأجل المدح والجلالة في أعين الناس، ولا يحصل لهم طائل.
والنوع الأول أعقل من هؤلاء كلهم، لأنهم عملوا
لله وحده لا شريك له، لكن لم يطلبوا منه الخير العظيم وهو الجنة، ولم يهربوا من
الشر العظيم وهو العذاب في الآخرة.
النوع الرابع: أن يعمل الإنسان بطاعة الله،
مخلصا في ذلك لله وحده لا شريك له، لكنه على عمل يكفره كفرا يخرجه عن الإسلام، مثل
اليهود والنصارى إذا عبدوا الله وتصدقوا أو صاموا ابتغاء وجه الله والدار الآخرة.
ومثل كثير من هذه الأمة الذين فيهم شرك أكبر أو
كفر أكبر، يخرجهم عن الإسلام بالكلية، إذا أطاعوا الله طاعة خالصة يريدون بها ثواب
الله في الدار الآخرة، لكنهم على أعمال تخرجهم من الإسلام وتمنع قبول أعمالهم؛
فهذا النوع أيضا قد ذكر في الآية عن أنس بن مالك وغيره؛ وكان السلف يخافون منه.
قال بعضهم: لو أعلم أن الله تقبل مني سجدة واحدة
لتمنيت الموت، لأن الله يقول: { إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ}
[سورة المائدة آية : 27] .
“Telah disebutkan dari
para salaf yang berilmu tentang ayat ini, beberapa jenis perkara yang dilakukan
oleh manusia pada hari ini, sedang mereka tidak mengerti maknanya.
Jenis Pertama, diantara hal itu, amal sholih yang dikerjakan oleh
kebanyakan orang demi mencari wajah Allah berupa sedekah, silaturahim, berbuat
baik kepada manusia dan semisalnya. Demikian pula meninggalkan kezhaliman, atau
tidak berbicara tentang kehormatan orang lain dan semisal itu diantara perkara
yang biasa dilakukan oleh manusia atau ia tinggalkan semata-mata karena Allah. Hanya
saja ia tidak menginginkan pahalanya di akhirat. Dia hanya ingin agar Allah
membalasinya dengan menjaga dan mengembangkan hartanya, memelihara anaknya dan
keluarganya serta senantiasa memberikan nikmat kepada mereka dan semisal ini. tidak
ada semangatnya dalam mencari surga dan lari dari neraka. Orang seperti ini
akan diberikan balasan amalannya di dunia, sedang di akhirat ia tidak
mendapatkan bagian (pahala).
Jenis ini telah
disebutkan dari Ibnu Abbas saat menafsirkan ayat ini. Sebagian guru kami telah
keliru, akibat ungkapan dalam Syarah Al-Iqna’, di awal bab tentang niat.
Tatkala beliau (guru kami) membagi keikhlasan menjadi beberapa tingkatan. Beliau
menyebutkan jenis ini termasuk diantaranya. Beliau menyangka bahwa pen-syarah
Al-Iqna’ menyebutnya ikhlash sebagai pujian bagi jenis itu. Padahal bukan
demikian halnya. Dia hanya memaksudkan bahwa amalan itu tidak riya’. Walaupun
sebenarnya ia adalah amalan yang gugur di akhirat.
Jenis Kedua: Jenis ini lebih besar dan menakutkan dibandingkan jenis pertama,
yaitu apa yang disebutkan oleh Mujahid bahwa ayat ini turun tentangnya, yakni seseorang
melakukan amal-amal sholih, sedang niatnya untuk mencari-cari perhatian orang,
bukan demi mencari pahala akhirat. Sementara itu ia menampakkan (di
hadapan orang) bahwa ia ingin wajah Allah. Hanyalah ia mengerjakan sholat,
puasa, bersedekah atau mencari ilmu, karena manusia akan memujinya dan mulia
dalam pandangan mereka. Karena kedudukan termasuk jenis-jenis dunia yang paling
besar.
Tatkala disebutkan
kepada Mu’awiyah sebuah hadits dari Abu Hurairah tentang tiga orang yang
pertama kali akan dinyalakan baginya neraka, yaitu orang mempelajari ilmu agar
disebut “ulama” sehingga ia pun digelari demikian; orang yang bersedekah agar
disebut sebagai “orang dermawan” dan orang yang berjihad agar disebut sebagai
“pemberani”, maka Mu’awiyah menangis keras, lalu membaca ayat ini.
Jenis Ketiga: Seseorang beramal sholih, sedang tujuannya dalam
amal sholih itu adalah harta benda, misalnya, ia berhaji demi harta
yang ia akan ambil, bukan demi Allah; atau ia berhijrah demi dunia yang akan ia
dapatkan, atau karena wanita yang akan ia nikahi; atau ia berjihad demi
ghanimah (harta rampasan). Sungguh jenis ini juga disebutkan saat menafsirkan
ayat ini sebagaimana di dalamKitab Ash-Shohih bahwa Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ، تَعِسَ عَبْدُ
الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ
“Celakalah
hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, celakalah hamba
khamilah…” dan seterusnya[1].
Sebagaimana halnya ia
mempelajari ilmu agama demi madrasah (sekolah atau pesantren) keluarganya, atau demi mata pencaharian mereka, atau demi kekuasaan
mereka; atau ia mempelajari Al-Qur’an dan menjaga sholatnya demi jabatan di
masjid, sebagaimana hal ini sering terjadi. Mereka ini lebih berakal
dibandingkan orang-orang sebelumnya (dalam jenis kedua). Karena, mereka ini
beramal untuk kepentingan yang mereka akan raih. Orang-orang yang sebelumnya
beramal demi (mendapatkan) pujian dan kemuliaan dalam pandangan manusia dan
mereka tidak mendapatkan harta benda.
Sedang jenis pertama
lebih berakal dibandingkan mereka semua ini. Karena, mereka (jenis pertama)
beramal karena Allah saja, tanpa sekutu bagi-Nya. Akan tetapi, mereka
menghancurkan kebaikan yang besar dari Allah, yaitu surga dan tidak pula lari
dari keburukan yang besar, yaitu siksaan di akhirat.
Jenis Keempat: Seseorang beramal ketaatan kepada Allah dalam kondisi
ikhlash dalam hal itu kepada Allah saja, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Akan
tetapi ia berada dalam amalan yang membuatnya kafir sehingga ia keluar dari
Islam, seperti kaum Yahudi dan Nashrani. Sebab, mereka menyembah
Allah, bersedekah atau berpuasa demi mencari wajah Allah dan kampung akhirat.
Ini seperti kebanyakan
orang dari kalangan umat ini, yaitu orang-orang yang padanya terdapat syirik
besar atau kekafiran besar yang mengeluarkan mereka dari Islam secara total.
Jika mereka taat kepada Allah dengan ketaatan yang ikhlash (murni), mereka menginginkan
dengannya pahala Allah di kampung akhirat. Akan tetapi, mereka di atas
amal-amal yang mengeluarkan mereka dari Islam dan mencegah diterimanya amal
mereka. Jenis ini juga telah disebutkan saat menafsirkan ayat ini dari Anas bin
Malik dan selainnya. Dahulu para salaf takut terhadap jenis ini.
Sebagian mereka
(salaf) berkata, “Andaikan aku
tahu bahwa Allah akan menerima dari sebuah sujud, maka aku akan ingin mati
saja. Karena, Allah berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ [سورة المائدة آية: 27]
“Sesungguhnya Allah
hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Maa’idah
: 27)“.
[Lihat Ad-Duror
As-Saniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyyah (13/19-21)]
Apa yang dinyatakan
oleh Syaikh Muhammad At-Tamimiy -rahimahullah- adalah perkara
yang benar dan dibuktikan oleh realita, baik di zaman dahulu, apalagi di zaman
sekarang.
Kita lihat ada
sebagian orang di zaman ini yang suka melakukan amal-amal sholih,
sedang niatnya untuk mencari-cari perhatian orang, bukan demi mencari pahala
akhirat. Sementara itu ia menampakkan (di hadapan orang) bahwa ia
ingin wajah Allah. Ini terlihat jelas dalam aktifitas para pegiat dakwah yang
terjun dalam partai. Mereka menampakkan bahwa dengan berpartai ia akan
memperjuangkan Islam. Padahal sebenarnya ia hanya memperjuang “kursi”
(kekuasaan) dan sekedar mengenyangkan perut dari arah yang haram!!
Ada juga diantara
manusia yang sibuk bersedekah –misalnya- kepada fakir-miskin dan anak-anak
yatim. Dia tidak mengharapkan pahala di akhirat, dan tidak pula mencari pahala
Dia hanya ingin agar
Allah membalasinya dengan menjaga dan mengembangkan hartanya, memelihara
anaknya dan keluarganya serta senantiasa memberikan nikmat kepada mereka dan
semisal ini.
Orang yang seperti ini
akan bersemangat melakukan amal-amal sholih jika ia melihat akan ada hasil
duniawinya. Jika ia tidak mendapatkannya, maka ia pun bermalas-malasan.
Sehingga dari hal tersebut akan tampak bahwa ia sebenarnya bukan beramal karena
Allah tapi karena hasil duniawi!!!
Disini kita akan tahu
kesalahan sebagian da’i dan muballigh yang mengajak kaum muslimin untuk
menggalakkan qiyamul lail atau sholat tahajjud dengan iming-iming supaya sehat.
Mereka pun menyebarkan undangan dan pamflet, “Mari Menghidupkan Malam
dengan Tahajjud demi Meraih Jasmani dan Rohani yang Sehat”. Jelas ini
merupakan kesalahan, sebab para hamba dianjurkan sholat tahajjud, bukan demi
meraih kesehatan jasmani. Seorang hamba sholat, tujuannya hanya satu, yaitu
meraih pahala sebanyak-banyaknya di negeri akhirat, entah jasmaninya sehat atau
tidak!!! Jadi seorang hamba hendaknya sholat, tanpa peduli apakah sholatnya
menghasilkan kesehatan jasmani atau tidak. Sehat atau sakit, hamba tetap
sholat. Ini yang benar!!
Pemandangan lain, ada
sebagian diantara kaum muslimin yang melaksanakan ibadah haji -misalnya- tetapi
ia sebenarnya tidak mengharapkan pahala. Tujuannya hanya dunia dan harta benda.
Ini terlihat pada sebagian orang yang menghajikan orang lain dengan niat meraih
harta benda, bukan menolong orang dan mengharapkan pahala. Lebih jahat
lagi, sebagian diantara mereka berbuat curang denganmenghajikan
banyak orang. Padahal sunnahnya, satu orang menghajikan
untuk satu orang saja, bukan untuk beberapa orang!! Orang yang
seperti ini melakukan dua pelanggaran: beramal karena dunia dan menipu Allah
serta orang-orang beriman.
Warna lain dari
orang-orang yang sia-sia amalannya yaitu orang-orang yang sibuk memperbanyak
amal sholih, seperti sedekah, haji, membaca Al-Qur’an, jihad, dan lainnya. Akan
tetapi di dalamnya ia juga melakukan amalan yang membuatnya kafir
sehingga ia keluar dari Islam.
Ini terlihat pada
sebagian orang-orang yang masih gandrung melakukan ritual kesyirikan dan
kekafiran. Mereka masih senang mempertahankan adat dan kebiasaan syirik.
Orang-orang seperti ini biasa melakukan rihlah (perjalanan dan tour) ke
tempat-tempat keramat dan kuburan orang-orang yang anggap sholih, lalu disana
ia berdoa dan bernadzar sambil mengharap kepada selain Allah -Azza wa Jalla-.
[1] Selengkapnya berbunyi begini, “Celakalah hamba dinar,
celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah, celakalah hamba khamilah.
Jika diberi, maka dia senang. Tetapi jika tidak diberi, maka ia marah.
Celakalah dia dan merugilah. Jika tertusuk duri, maka duri itu tidak akan
tercabut” [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (no. 2730)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar