Kehidupan dunia ini hanyalah
kehidupan yang sebentar saja. Dia merupakan ladang untuk beramal sholih, demi
mempersiapkan bekal menuju hari perjumpaan Allah Robbul alamin. Di hari itu,
Allah akan memutuskan dan menuntaskan urusan para hamba-Nya di Padang Mahsyar
dalam waktu panjang. Setiap orang akan menerima hisab(perhitungan)
dari amalannya. Selanjutnya, setiap orang akan berjalan sesuai dengan catatan
amalnya. Jika ia pemilik catatan yang baik, maka bersegeralah ia menuju kampung
kebahagiaan, yaitu surga. Tapi jika ia adalah seseorang pemilik catatan buruk,
maka ia dengan segala penyesalannya akan menuju kampung kesengsaraan, yakni
neraka.
Waktu yang kita lalui seyogyanya
menjadi kesempatan dan ladang bagi seorang mukmin dalam memperbanyak bekal amal
sholih dan ketaatan, sebelum datangnya waktu yang tidak lagi berguna baginya
penyesalan.
Allah -Azza wa Jalla-
berfirman,
“Waspadailah suatu hari yang pada
waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri
diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. (QS.
:)
Perjalanan panjang menuju Allah -Azza
wa Jalla- amat membutuhkan bekal, kesabaran, nasihat dari seorang ulama
yang paham tentang hakikat dunia. Oleh karenanya, perlu kami nukilkan nasihat
mulia dari seorang ulama tabi’in yang tersohor, Al-Imam Al-Hasan
Al-Bashri -rahimahullah- kepada seorang pemimpin negara
saat itu yang bernama Umar bin Abdul Aziz -rahimahullah-.
Nasehat yang begitu mendalam yang bertaburan wasiat-wasiat yang agung di
dalamnya. Setiap kalimat yang terucap, sarat dengan mutiara hikmah yang sanggup
mencairkan setiap hati yang keras dan pikiran yang beku. Betapa tidak,
didalamnya terkandung kata-kata bijak yang sanggup menyentuh lubuk hati yang
paling dalam.
Nasehat di bawah ini merupakan
potongan nasehat dari surat yang ia kirimkan kepada Khalifah tentang hakekat
waktu. Disebabkan karena keterbatasan ruang, membuat kami mengambil sebahagian
saja, dengan harapan kita bisa mengambil ibrah dan pelajaran dari nasehat
tersebut. Adapun isi nasehatnya adalah sebagai berikut,
·
Jika kamu berpikir, dunia tidak
lebih dari tiga hari, yaitu: hari yang telah berlalu, yang tidak mungkin kamu
harapkan kembali. Hari dimana kamu sekarang berada, maka selayaknya kamu
memanfaatkannya sebaik-sebaiknya, dan hari yang kamu tidak tahu, apakah kamu
termasuk yang mengalaminya ataukah tidak? Kamu tidak tahu, apakah kamu akan
mati sebelumnya?.
·
Hari yang telah lalu, adalah hari
yang bijaksana dan memberi pelajaran, sedangkan hari ini adalah kawan yang
segera mengucapkan selamat tinggal. Hari kemarin, meskipun menyedihkanmu, tetapi
ia masih menyisakan pelajaran yang bijaksana di tanganmu. Jika dahulu kamu
menyia-nyiakannya, maka sekarang telah datang penggantinya, dimana sekian lama
ia tidak berjumpa denganmu dan sekarang ia segera meninggalkanmu.
·
Sedangkan hari esok, harapannya
ada ditanganmu pula, maka ambillah kepastian dengan melakukan amal dan
tinggalkan ketertipuan dirimu dengan angan-angan sebelum saat yang ditentukan
tiba. Janganlah kamu memasukkan kekhawatiran terhadap hari esok, atau
setelahnya kedalam hari ini, sehingga manambah kesedihan dan kepayahanmu,
dimana kamu ingin agar pada hari ini kamu menghimpun segala yang mencukupimu
selama hari-harimu yang lain. Kesibukan semakin banyak, kepayahan semakin
bertambah, dan hamba telah menyia-nyiakan amal dengan angan-angan.
·
Jika harapanmu terhadap hari esok
benar-benar keluar dari hati, niscaya pada hari ini kamu melaksanakan amal yang
sebaik-baiknya dan mengurangi kesedihanmu. Tetapi, harapanmu pada hari esok
ternyata menjadikanmu ceroboh dan mengajakmu untuk semakin menjadi-jadi dalam
mengejarnya.
·
Jika kamu mau mempersingkat, saya
akan menggambarkan dunia ini kepadamu sebagai suatu saat yang berada
diantara dua saat. Saat yang telah lalu, saat yang akan datang, dan saat dimana
kamu sekarang berada.
·
Adapun saat yang lalu dan akan
datang, tidak akan kamu temukan kenikmatan dalam kesenangannya atau kepedihan
dalam deritanya. Dunia hanyalah sesaat dimana kamu berada, lantas saat tersebut
menipumu sehingga menjauhkanmu dari surga dan membawamu ke neraka.
·
Jika kamu berpikir, sebenarnya
hari tidaklah lebih dari seorang tamu yang mampir ke rumahmu dan dia segera
pergi meninggalkanmu. Jika kamu memberi sambutan dan jamuan yang baik, ia akan
menjadi saksi bagimu, memuji perbuatanmu, dan akan mencintaimu dengan tulus.
Tetapi jika sambutanmu buruk dan kamu tidak menjamunya dengan baik, maka hal
itu akan terus terbayang di pelupuk matamu.
·
Hari juga ada dua, yang
kedudukannya ibarat dua bersaudara. Salah satu dari keduanya datang kepadamu,
lantas kamu menyambutnya dengan buruk dan tidak memberi jamuan yang baik
kepadanya. Lantas, yang lain datang kepadamu seraya berkata:”Aku datang setelah
kedatangan saudaraku, maka kebaikanmu kepadaku akan menghapuskan keburukan
sikapmu terhadap saudaraku dan ia akan memaafkan tindakanmu. Inilah aku, datang
kepadamu setelah kedatangan saudaraku yang telah meninggalkanmu.” Kamu telah
mendapatkan penggantinya, jika kamu berakal, maka perbaikilah apa yang telah
kamu sia-siakan. Tetapi jika kamu bersikap sama sebagaimana sikap yang pertama,
maka sungguh patut jika kamu binasa oleh kesaksian buruk mereka berdua
terhadapmu.
·
Umur yang tersisa tidak bisa
ditukar dengan harga atau tebusan apa saja. Andaikata seluruh dunia
dikumpulkan, maka ia tidak akan sebanding dengan umur seseorang yang tersisa.
Maka, janganlah kamu menjual atau menukarnya dengan dunia yang tidak sesuai
dengan harganya. Jangan sampai orang yang dikubur lebih menghargai apa yang
berada di tanganmu daripada kamu sendiri, padahal itu milikmu. Sungguh,
andaikata seorang yang terkubur di dalam tanah ditanya, ”Apakah dunia ini
–secara keseluruhan dari awal sampai akhir, yang akan kamu berikan kepada
anak-anakmu sepeninggalmu agar mereka menikmatinya, sementara kamu dulu tidak
pernah mempunyai kekhawatiran selain tentang mereka, lebih kamu cintai ataukah
satu hari dimana kamu dibiarkan hidup untuk melakukan amalan shalih bagi
dirimu?”, niscaya ia memilih satu hari tersebut. Tidak mungkin ia dihadapkan
pada suatu pilihan dengan satu hari sebagai pilihan lain, kecuali ia lebih
memilih satu hari daripada pilihan lain itu, karena besarnya keinginan dan
penghargaannya kepadanya.
·
Bahkan, andaikata ia diberi
pilihan antara sesaat dengan pilihan lain yang berlipat-lipat dari apa yang
telah saya sebutkan kepadamu dan berlipat-lipat lagi, niscaya ia lebih memilih
waktu sesaat itu untuk dirinya daripada pilihan lain yang berlipat-lipat dari itu.
·
Bahkan, andaikata ia disuruh
memilih antara satu kata yang diucapkannya, yang akan ditulis kebaikannya untuk
dirinya dengan apa yang telah saya ceritakan kepada kamu (yakni, kenikmatan
dunia) dan yang nilainya berlipat-lipat darinya, niscaya ia lebih memilih satu
ucapan tersebut daripadanya.
·
Maka, koreksilah dirimu pada hari
ini, perhatikanlah setiap saat yang berlalu, hargailah satu kata, dan
waspadailah terhadap penyesalan ketika sakratul maut datang. Kamu tidak bisa
mengabaikan perkataan ini sebagai hujjah bagimu, maka semoga Allah memberikan
manfaat kepada kami dan kepada kamu dengan pelajaran ini serta mengaruniakan
akhir kehidupan yang baik kepada kita semua. Wassalaamu ‘Alaikum Wa
Rahmatullahi Wa Barakatuh”. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (2/134-140)]
Demikianlah nasehat yang agung
ini kami haturkan dihadapan para pembaca, agar ia bisa menjadi hentakan bagi
jiwa kita yang lalai dan menyadarkan kita tentang pentingnya memanfaatkan waktu
dengan baik. Ketahuilah, ketika kita menyia-nyiakan waktu sedetik saja
dari perjalanan usia kita, sebenarnya ada kerugian dan penyesalan besar yang
akan kita temui kelak ketika bertemu Allah -Azza wa Jalla-.
Allah -Ta’ala- telah
bersumpah tentang hal ini di dalam firman-Nya,
“Aku bersumpah dengan hari
kiamat, dan Aku bersumpah demi jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (Qs
: Al-Qiyamah: 1-2).
Syaikh Abdurrahman bin Nasir
As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, ”Maksudnya, seluruh
jiwa, baik yang sholeh, maupun yang bejat. Dinamakan (لَوَّامَة) karena besarnya kebimbangan dan
penyesalan jiwanya, dan tidak tetapnya jiwa pada satu kondisi. Sehingga ketika
meninggal, jiwa tersebut menyesal atas apa yang telah ia kerjakan. Bahkan jiwa
seorang mukmin akan menyesali atas apa yang ia telah peroleh ketika di dunia berupa
sikap pelampauan batas (berlebih-lebihan), atau melakukan kekurangan atau
kelalaian dalam memenuhi hak diantara hak-hak yang ada. [Lihat Taisir
karimir Rahman, (hal. 898)].
Janganlah angan-angan kosong yang
dihembuskan oleh setan, membuat kita terlena sehingga menjadi penghalang dari
beramal shalih dan selalu menunda-nundanya. Sebab, itu merupakan tanda
kebinasaan yang telah dikecam oleh Allah -Azza Wa Jalla- . Allah
-Ta’ala- berfirman,
“Biarkanlah mereka (di
dunia ini) makan dan bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan
(kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)”. (Qs.
Al-Hijr: 3).
Ketahuilah, tidak ada seorang pun
diantara manusia yang bisa menjamin bahwa dirinya masih bisa hidup sedetik
kemudian atau tidak. Oleh karena itu, sangatlah pantas bagi kita untuk
merenungi wasiat Ibnu Umar -radhiyallahu anhu- , ketika
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda
kepadanya,
كُنْ
فِي الدُّنْيَا كََأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍٍ
“Jadilah di dunia ini seperti
orang asing atau seorang pengembara.”
Ibnu umar berkata, “Jika
kamu berada di waktu sore, maka jangan menunggu sampai pagi, dan jika kamu
berada di waktu pagi, jangan menunggu sampai waktu sore. Manfaatkanlah waktu
sehatmu sebelum datang waktu sakitmu dan manfaatkan hidupmu sebelum datang
matimu.”[HR. Al-Bukhariy dalam Kitab Ar-Riqoq (no.
6416)].
Manfaatkanlah umur yang diberikan
untuk taat kepada Rabbmu. Janganlah hatimu terpaut kepada dunia yang sedikit
lagi hina, sehingga usiamu habis untuk mengejarnya. Tengoklah para salaf-mu
yang shalih (para sahabat -radhiyallahu anhum-) dimana cita-cita mereka sangat
tinggi yaitu negri akhirat. Mereka tidak bertanya kecuali tentang surga, dan
tidaklah menginginkan kecuali surga, sehingga mereka tidak menggunakan waktunya
kecuali pada perkara yang diridhai oleh Allah -Tabaaraka Wa Ta’ala- .
Mereka mampu menahan berbagai penyakit, rasa lapar, halangan, rintangan, dan
meninggalkan tanah air serta orang- orang yang dicintai. Mereka menghadapi
orang-orang kafir dengan pedang-pedang mereka, dan hal-hal selain itu untuk
mencari pahala dan surga.
Adapun orang-orang yang tertipu
oleh dunia adalah orang yang merasa cukup dan takjub dengan gemerlapnya dunia.
Mereka diberi rezki berupa kesehatan dan kelapangan waktu oleh Allah -Subhanahu
wa Ta’ala- , namun ia tidak menggunakannya untuk melakukan sesuatu yang
berguna baginya. Karenanya, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-
mengingatkan,
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang kebanyakan
manusia tertipu di dalamnya : kesehatan, dan waktu luang”.
[HR. Al-Bukhariy dalam Kitab Ar-Riqoq (no. 6412)]
Alangkah baiknya seorang penyair
yang berkata,
Umur itu lebih singkat waktunya
Daripada disia-siakan di dalam
hitungan
Raihlah keuntungan-keuntungan di
dalamnya
Karena
dia berjalan sebagaimana berlalunya awan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar