Setiap orang pasti
mendambakan kebahagiaan bagi dirinya dan orang lain, sebab sudah menjadi tabiat
manusia bahwa ia senang jika melihat orang lain berbahagia seperti dirinya.
Namun perlu diketahui bahwa persoalan hidayah bukanlah perkara mudah bagi setiap
orang. Persoalan hidayah hanya ada di tangan Allah -Azza wa Jalla-. Dia-lah
yang menentukan siapa diantara hamba-hamba-Nya yang berhak mendapatkannya. Tak
ada seorang makhluk pun yang berhak menentukan bahwa si fulan dan fulan yang
mendapatkan hidayah.
Seorang hamba hanyalah
dibebani oleh Allah untuk berusaha memberikan petunjuk tentang jalan-jalan
hidayah. Adapun seorang diberi hidayah untuk mengamalkan dan melakukan
jalan-jalan tersebut, maka bukanlah urusan hamba si pemberi nasihat. Tapi
semuanya kembali kepada Allah -Azza wa Jalla-. Bahkan diri seorang
hamba, ia tak mampu beri hidayah, kecuali Allah yang menunjukinya dan
memberinya taufiq untuk menapaki jalan-jalan hidayah.
Para pembaca yang
budiman, hidayah bagaikan permata –bahkan lebih dari itu-,
sulit untuk didapatkan, kecuali bagi orang-orang yang Allah rahmati. Lantaran
itu, para nabi saja tak mampu memberi hidayah kepada keluarga mereka.
Lihat saja Nabi Nuh -alaihish
sholatu was salam- tak mampu memberikan hidayah kepada anak dan istrinya.
Allah -Azza wa
Jalla- berfirman,
“Dan Nuh berseru
kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah
hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia
bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon
kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan.” Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku berlindung kepada
Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang Aku tiada mengetahui
(hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak)
menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang
merugi.” (QS. Huud : 45-47)
Perhatikanlah, Nabi
Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- telah lama mendakwahi kaumnya, dan
keluarganya. Bahkan anak dan istrinya termasuk orang-orang merugi, karena tak
mengikuti jalan hidayah yang Nuh ajarkan kepada mereka. Mereka lebih memilih
jalan kekafiran. Na’udzu billah min dzalik.
Inilah yang Allah
jelaskan dalam firman-Nya,
Nuh berkata: “Ya
Tuhanku Sesungguhnya Aku Telah menyeru kaumku malam dan siang,
Maka seruanku itu
hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan Sesungguhnya setiap kali
Aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka
memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya
(kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan
sangat. Kemudian Sesungguhnya Aku Telah menyeru mereka (kepada iman) dengan
cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya Aku (menyeru) mereka (lagi) dengan
terang-terangan dan dengan diam-diam”. (QS. Nuuh : 5-9)
Dakwah ini dilakukan
setelah da’wah dengan cara diam-diam tidak berhasil. Sesudah melakukan da’wah
secara diam-diam, kemudian secara terang-terangan namun tidak juga berhasil.
Maka nabi Nuh -alaihish sholatu was salam- melakukan kedua cara itu
dengan sekaligus. Tapi juga tak berhasil memberikan hidayah kepada kaumnya. Ini
menunjukkan mahalnya hidayah.
Nasib yang serupa juga
menimpa istri Nabi Luth -alaihish sholatu was salam-. Beliau hidup
serumah dengan istrinya, bergaul, dan berjumpa. Akan tetapi hidayah itu tak
menembus relung hatinya. Hidayah itu hanya masuk telinga kanan, lalu keluar
dari telinga kiri!!
Allah -Ta’ala-
berfirman,
“Kemudian kami
selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan kepada mereka
hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa
itu”. (QS. Al-A’raaf : 83-84)
Istrinya dibinasakan,
karena ia enggan mengikuti jalan hidayah yang ditawarkan oleh suaminya
kepadanya. Alangkah sialnya seorang wanita yang berada di dalam rumah
ilmu dan kenabian,dibacakan ayat-ayat dan nasihat kepadanya, tapi ia masih
tetap enggan dan durhaka kepada suaminya.
Allah -Ta’ala-
berfirman,
“Allah membuat isteri
Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada
di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu
kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu
tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan
(kepada keduanya): “Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk
(Jahannam)”. (QS.
At-Tahrim : 10)
Al-Imam Abul Fida’
Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maksudnya,
(perumpamaan) tentang bergaulnya dan hidupnya mereka di tengah kaum muslimin,
hal itu tidak membuahkan hasil bagi mereka, dan tidak pula memberi manfaat
kepada mereka sedikitpun di sisi Allah, jika iman tak ada dalam hati”. [Lihat Tafsir
Ibnu Katsir (8/171)]
Hidayah untuk beriman,
mengamalkan sunnah, dan meninggalkan maksiat adalah perkara khusus, hanya ada
di tangan Allah. Jadi, tak ada diantara hamba Allah yang mampu menentukan orang
lain mendapatkan hidayah sampai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saja
tak mampu memberi hidayah kepada paman beliau yang telah banyak membela dan
menolong dakwah beliau.
Dari Sa’id bin
Al-Musayyab dari ayahnya berkata,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ
جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ
أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ
وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ
أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ
أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ{ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي
قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ }
وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ
فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Tatkala kematian
menghampiri Abu Tholib, maka ia didatangi oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam-. Beliau mendapati di sisinya ada Abu Jahl, Abdullah bin Abi Umayyah
bin Al-Mughiroh. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Wahai
pamanku, “Nyatakanlah, Laa ilaaha illallah(Tidak sembahan yang haq,
selain Allah), sebuah kalimat yang aku akan jadikan persaksian bagimu di sisi
Allah”. Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah menimpali, “Wahai Abu
Tholib, apakah engkau membenci agama Abdul Muththolib?!” Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- senantiasa mengajukan kalimat itu kepada Abu Tholib, dan
mengulang-ulanginya sampai Abu Tholib menyatakan sesuatu yang paling terakhir
ia katakan kepada mereka bahwa ia tetap berada di atas agama Abdul Muththolib,
dan enggan menyatakan, “Laa ilaaha illallaah”. Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam- bersabda, “Ingatlah, demi Allah, aku akan memohonkan ampunan bagimu
selama aku tak dilarang darimu”.
Lantaran itu, Allah
-Azza wa Jalla- menurunkan firman-Nya,
“Tiadalah sepatutnya
bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam”. (QS. At-Taubah : 113)
Allah -Ta’ala-
menurunkan ayat tentang Abu Tholib seraya berfirman kepada Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam-,
“Sesungguhnya kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qoshosh : 56)“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Tafsir (3/273),
dan Muslim dalam Kitab Al-Iman (1/54)]
Al-Imam Abu Zakariyya
An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para
ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Tholib.
Demikianlah kesepakatan mereka tentang hal itu telah dinukil oleh Az-Zajjaj dan
yang lainnya. Ayat ini umum, karena tak ada yang dapat memberi hidayah, dan
tidak pula menyesatkan orang lain, kecuali Allah -Ta’ala-”. [Lihat Syarah
Shohih Muslim (1/97)]
Syaikh Abdur Rahman
bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah-
berkata setelah membawakan ayat-ayat dan hadits di atas, “Demikian itu
karena apabila beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- saja yang merupakan
makhluk utama secara mutlak dan paling agung kedudukannya di sisi Allah, serta
paling dekat amalannya; beliau saja tak mampu memberi hidayah kepada
orang-orang yang beliau cintai berupa hidayah taufiq. Hidayah itu semuanya
hanyalah ada di tangan Allah. Dia-lah yang bersendirian dalam memberi hidayah
kepada hati sebagaimana halnya Dia bersendirian dalam menciptakan makhluk.
Karenanya, tampaklah bahwa Dia adalah sembahan yang haq”. [Lihat Al-Qoul
As-Sadid (hal. 79)]
Urusan makhluk,
seperti memberikan hidayah kepada makhluk;
semuanya kembali kepada Allah, sampai Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-
saja tak mampu memberikan hidayah (taufiq) kepada mereka.Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah-
berkata usai menjelaskan hal ini, “Jika permasalahannya demikian, maka
bagaimanakah pandangan kalian tentang selain beliau (Nabi -Shollallahu alaihi
wa sallam-)? Maka tak ada campur tangan dalam urusan makhluk bagi siapa saja,
seperti arca-arca, berhala-berhala, para wali, dan para nabi. Urusan makhluk
semuanya kembali kepada Allah”. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/290)
karya Al-Utsaimin]
Jadi, Nabi -Shollallahu
alaihi wa sallam- tak punya campur tangan dalam urusan makhluk, seperti
memberi hidayah, menyelamatkan manusia dari siksa neraka, atau memasukkan
mereka ke dalam surga. Semua ini adalah urusan Allah.
Olehnya, Nabi -Shollallahu
alaihi wa sallam- pernah mendakwahi kerabatnya dan mengabarkan kepada
mereka bahwa beliau tak mampu menolong dan menyelamatkan mereka di hari kiamat,
jika mereka berbuat syirik.
Hendaknya seorang
muslim selalu memohon hidayah taufiq agar ia senantiasa dibimbing oleh Allah
menuju jalan-jalan hidayah yang mengantarkan ke surga-Nya. Lantaran itu,
Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- mengajarkan kita doa yang
masyhur:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى
دِينِكَ
“Wahai Yang
Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”. [HR. At-Tirmidziy dalamSunan-nya (3517). Di-shohih-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2091)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar