Kita melihat sebagian
besar manusia memandang bahwa materi sebagai suatu ukuran mulia atau tidaknya
seseorang. Tidak diragukan bahwa dunia ini pasti akan berakhir dan setiap orang
akan mempertanggungjawabkan apa yang telah ia lakukan di dunia. Ketika
manusia dikembalikan kepada kehidupan akhirat, maka manusia akan menempati satu
diantara dua tempat yaitu surga atau neraka.
Apabila seseorang
dimasukkan ke surga, maka itulah keberuntungan yang sangat besar. Apabila ia
dimasukkan ke dalam neraka, maka itulah keburukan yang sangat buruk. Karena ia
akan merasakan berbagai macam siksaan yang tak pernah ia rasakan di dunia.
Walaupun waktu di dunia, ia memiliki harta yang banyak dan jabatan yang tinggi,
namun ia tetap durhaka dan bermaksiat kepada Allah, maka harta dan jabatan itu
tak akan bermanfaat sedikitpun baginya.
Jabatan dan harta
hanyalah bunga-bunga kehidupan dunia yang sering melalaikan manusia, lalu
memperbudaknya. Apa yang dituntut oleh dunianya, maka ia siap mengorbankan
segalanya, tanpa memperhatikan halal-haram dan keridhoan Allah. Allah -Azza
wa Jalla- berfirman,
“Ketahuilah bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning.
Kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada siksa yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.”(QS. Al-Hadid : 20).
Banyak manusia yang
tertipu dan tergiur dengan indahnya kehidupan duniawi yang membuat mereka lupa
untuk mengingat Allah. Sehingga mereka menjadikan orang-orang yang
memiliki jabatan dan harta sebagai standar kesuksesan seseorang, serta bangga
jika anak mereka memiliki jabatan, walaupun jahil (tidak mengetahui) agama
mereka. Akibatnya, mereka merendahkan orang-orang yang mempelajari agama
Allah, dengan dalih bahwa orang yang belajar agama tidak memiliki peluang untuk
meraih harta dan jabatan setinggi-tingginya. Padahal tidak mesti demikian!!
Ketahuilah, harta dan
jabatan bukanlah ukuran mulianya seseorang. Barometer dan ukuran mulia tidaknya
seseorang di sisi Allah Robbul alamin adalah ketaqwaan seseorang
kepada-Nya. Sedang ketaqwaan tak mungkin akan diraih, kecuali dengan ilmu
syar’i. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kalian. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS.
Al-Hujuraat : 13)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, kalian
hanyalah utama di sisi Allah dengan ketaqwaan, bukan karena kedudukan”.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (7/386)]
Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam- bersabda kepada Abu Dzar Al-Ghifariy -radhiyallahu
anhu-,
عَنْ أَبِي ذَرّ ٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: انْظُرْ فَإِنَّكَ لَيْسَ بِخَيْرٍ مِنْ
أَحْمَرَ وَلَا أَسْوَدَ إِلَّا أَنْ تَفْضُلَهُ بِتَقْوَى
“Perhatikanlah,
sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dibandingkan orang yang berkulit merah,
dan tidak pula berkulit hitam, kecuali engkau mengunggulinya dengan ketaqwaan”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/158/no.
20898). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah
Al-Marom (no. 308)]
Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- juga bersabda,
لَيْسَ لأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ فَضْلٌ إِلاَّ
بِدِيْنٍ أَوْ عَمَلٍ صَالِحٍ
“Tak ada suatu
keutamaan bagi seseorang atas yang lainnya, kecuali dengan agama atau amal
sholih”.[HR. Ibnu Wahb dalam Al-Jami' (hal.
6). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no.
1038)]
Barometer berhasil
tidaknya seseorang, beruntung tidaknya seseorang, semuanya bermuara kepadaketaqwaan
seseorang kepada Allah, bukan ukurannya kembali kepada banyaknya harta, dan
tingginya jabatan. Justru harta dan jabatan itulah sering menjadi beban bagi
seseorang di hari kiamat kelak. Allah -Subhana Wa Ta’ala-
berfirman,
“Kemudian kalian pasti
akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di
dunia itu)”. (QS. At-Takatsur : 8)
Oleh karena itu, Allah
tidak memandang kepada harta dan jabatanmu. Allah hanya memandang hati kita
yang tunduk dan takut kepada Allah, lalu melahirkan amalan-amalan sholih.
Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ
وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah
tidak memandang bentuk wajah dan harta kalian ,tapi Allah memandang hati dan
amal-amal kalian”. [HR. Muslim dalam Kitab
Al-Birr wa Ash-Shilah wa Al-Adab (no. 6489)]
Ketika manuasia
berlomba-lomba mencari dunia, demi mendapatkan harta dan jabatan walaupun
dengan cara yang haram. Selain itu, banyaknya wanita karier yang keluar dari
peraduannya yang mulia menuju ke kantor-kantor dan mall-mall demi memperoleh
dunianya, walaupun mereka harus ber-ikhtilath (campur baur) dengan
kaum Adam, bahkan terkadang siap mengikis rasa malunya dengan berpakaian mini
lagi ketat. Padahal Allah memerintahkan para wanita untuk tetap tinggal di
rumah-rumah mereka demi memelihara harga diri dan kesuciannya sebagaimana dalam
firman-Nya,
“Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”. (QS.
Al-Ahdzab : 33)
Celakanya lagi, banyak
diantara para penghamba dunia, rela mengorbankan agamanya demi meraih secuil
dari perhiasan kehidupan dunia yang fana ini. Lihat saja ketika waktu-waktu
sholat fardhu, tetap saja sibuk dengan harta dan jabatan yang akan
menghinakannya di depan Allah
Pembaca yang jenius,
Allah memang telah menjadikan dunia ini berupa perhiasan yang disegerakan
(seperti, harta, kedudukan, kekuasaan, dan lainnya) untuk menguji dan
membedakan orang yang bersyukur dan orang yang sombong. Inilah yang disinyalir
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ
أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap
umat mempunyai fitnah (ujian), sedang fitnah (ujian)nya umatku adalah harta” [HR. At-Tirmidziy dalam Kitab Az-Zuhd (no
2336)]
Al-Allamah
Al-Mubarokfuriy -rahimahullah-
berkata menjelaskan makna hadits ini, “Maksudnya, lalai karena harta,
sebab harta menyibukkan pikiran dari melakukan ketaatan, dan membuat kita lupa
tentang akhirat”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/121)]
Di sisi lain, Allah
berfirman,
“Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim :6).
Burhanuddin Al-Biqo’iy -rahimahullah- berkata dalam Nazhm
Ad-Duror (9/78), “Tatkala seorang manusia adalah pemimpin
bagi rumah tangganya, penanggung jawab bagi bawahannya, maka Allah berfirman,
“…dan keluargamu…” berupa istri-istri, dan anak-anak, serta semua yang
masuk dalam kategori keluarga. Lindungilah mereka dari neraka dengan memberikan
nasihat, dan pendidikan agar mereka berhias dengan akhlaq keluarga Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-”.
Allah memerintahkan
kita untuk menyelamatkan diri dan keluarga kita dari api neraka, bukan semata
untuk mengejar dunia agar mendapatkan harta dan jabatan yang tinggi. Karena
harta dan jabatan tidak akan dibawa mati, namun dijadikan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah -Azza Wa Jalla-, dan jalan untuk
memperbanyak amal sholih.
Pembaca yang budiman,
bagaimana mungkin seseorang menjadi orang yang shalih, yang dapat menyelamatkan
diri dan keluarganya dari api neraka, sementara dia tidak menunaikan shalat dan
tidak mengetahui atau mengilmui mana yang halal dan mana yang haram??!
Di sisi lain, mereka
penuhi hidupnya dengan kesenangan dan angan-angan kosong, maka Allah
membiarkan mereka terus berpaling. Allah -Subhana Wa Ta’ala- berfirman,
“Biarkanlah mereka (di
dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong),
maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. Al-Hijr : 3)
Banyak orang yang
ingin menggapai bulan dan ingin memeluk gunung, namun apa daya tangan tak
sampai. Kemuliaan bukan dilihat dari banyaknya harta dan tingginya
jabatan. Namun kemulian diperoleh dengan ketaqwaan. Sedang ketaqwaan
tak mungkin akan diperoleh, kecuali dengan ilmu agama. Hanya diperoleh dengan
baik jika dilandasi dengan ilmu.
Oleh karenanya, wajib
bagi setiap muslim mempelajari agama Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan
Sunnah (hadits). Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memuji orang-orang
yang mempelajari agama Allah dan mengamalkannya, walaupun mereka tidak memiliki
harta dan jabatan dalam sabdanya,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ اْلقُرْآنَ وَ
عَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian
adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan orang yang mengajarkannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fadho'il Al-Qur'an (no.
5027)]
Mengapa demikian?
Sebab seseorang dengan ilmu agamanya akan dapat membedakan antara yang haram
dan halal; antara yang wajib, sunnah, mubah, dan haram; antara yang baik dan
buruk. Jika baik, maka ia kerjakan berdasarkan ilmunya. Bila buruk, maka ia
tinggalkan berdasarkan ilmunya.
Jika seseorang
memiliki ilmu agama, maka kehidupannya akan teratur sesuai ridho Allah. Adapun
jika seseorang tak memiliki ilmu atau menjauh dari ilmu agama, bahkan terkadang
benci kepada kaum agamawan, maka kehidupannya akan diwarnai dengan kekacauan,
tabrak sana tabrak sini. Dia ibaratnya hewan yang tak dapat membedakan yang
baik dengan yang buruk, yang penting puas dan kenyang!! Kehidupan manusia
seperti ini yang tak lagi mengenal halal-haram, hakikatnya lebih buruk
dibandingkan hewan, sebab manusia diberi akal, namun tak difungsikan
sebagaimana mestinya.
Inilah rahasianya
Allah membangga-banggakan orang yang meluangkan waktu untuk mempelajari dan
mengkaji Al-Qur’an yang berisi ilmu agama kepada para ulama dan orang-orang
berilmu. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
وَمَا اْجتَمَعَ قَوْمٌ فِيْ بَيْتِ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ
اللهِ وَ يَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ اْلسَكِيْنَةُ
وَ غَشِيَتْهُمْ اْلرَّحْمَةُ وَ حَفَّتْهُمُ اْلمَلاَئِكَةُ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ
فِيْ مَنْ عِنْدَهُ ،
“Tidaklah berkumpul
suatu kaum di salah satu masjid untuk membaca Al Qur’an, dan mempelajarinya
diantara mereka, kecuali sakinah (ketenangan) akan turun atas mereka, diliputi
rahmat, dan dinaungi malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan
makhluk-makhluk lain di sisi-Nya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 2699)]
Oleh karenanya,
seorang muslim amat tidak layak ketika ia merendahkan saudaranya yang
meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu, bahkan membenci, dan memusuhinya.
Orang yang dimuliakan oleh Allah, harus kita muliakan, tak boleh kita hinakan!!
Bahkan kita harus membantunya dengan tenaga, harta, dan pikiran. Allah -Subhana
Wa Ta’ala- berfirman,
“Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”(QS. Al-Mujadilah :
11)
Keutamaan-keutamaan
yang disebutkan pada ayat dan dua hadits di atas, tidak didapatkan oleh para
hamba dunia yang haus harta dan jabatan. Orang yang meraih keutamaan ini,
hanyalah mereka yang mempelajari agama Allah. Walaupun terkadang kehidupan
mereka penuh kesederhanaan dan kemiskinan, tidak punya jabatan dan rendahnya
mereka di mata masyarakat yang cinta dunia, tapi mereka telah meraih kemuliaan
ilmu, dan kelak –insya Allah- mendapatkan janji surga.
Harta dan jabatan dunia
bukanlah tujuan. Dia hanyalah jalan dan sarana dalam mencapai tujuan, yakni
ridho Allah. Oleh karenanya, semua itu digunakan sesuai dengan jalur yang
Allah ridhoi dan cintai. Harta dan jabatan digunakan untuk sesuatu yang baik.
Sedang seorang tak mungkin akan menggunakannya dalam sesuatu yang baik, kecuali
dengan bimbingan ilmu agama. Nah, disinilah pentingnya mempelajari ilmu agama
sebelum jauh mencari dunia agar kita tidak salah dalam melangkah. Sebab
ilmu itu bagaikan pelita yang menerangi gelapnya jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar