Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak
lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan mungkin di antara
kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan
suara seperti itu. Bahkan mendengar
lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang
juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari
gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah
mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah),
dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia
pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al
Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan
perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa
berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja,
karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia
dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan
mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan
yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga
dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum
keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang
dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum
nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung
dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka
hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si
fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan
mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ
مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ
لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri
seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua
telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.”
(QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab
tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa
yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal hadits” dalam ayat
tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah
nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan
beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di
antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau
mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat
tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah
(sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna
tersebut sebanyak tiga kali.[1]
Penafsiran senada disampaikan oleh
Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih,
Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug
(genderang).[2]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan,
“Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari
berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita
bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al
Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna
lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan
tabi’in.[3]
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat
bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul
Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas
sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al
Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang haus terhadap
ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan
turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan
bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya
dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah
penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada
penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang
paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah
karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]
Jadi, jelaslah
bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut
kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama
dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu
mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka,
bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini
berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan
maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan
dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa
mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah
ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan
selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari
telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى
أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ
بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ
الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku
sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik.
Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan
binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu
keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’
Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung
kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi
hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti
musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di
antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah
(1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian
senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy
Syaukani –rahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu
Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti
Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga
mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad
hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan
sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan
kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim
rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin
‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al
Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan
Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah
mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan
mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan
lafazh jazm, sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam.
Inilah yang paling mungkin, karena sangat banyak orang yang
meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat
masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin
melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari
memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih,
yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits
tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau
memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari
membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang
terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti
dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti
dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau
telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama
saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di
atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena
dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits
berikutnya.[8]
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ
اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ
يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ
وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang
meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur
dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka
ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan
babi.”[9]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ
إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ
يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى
قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى
الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar
pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau
menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah
ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu
masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih
mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan
kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari
seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[10]
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti
yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian
ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang
menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama
dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini
menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang
mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya
menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari
mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai
menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah
bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain
dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”[11]
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau
menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau
mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah
nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku,
jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada
posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz
pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya
adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi
pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal
dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari
para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik
serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan
meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki
kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari
mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa
nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan
minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian
itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”[12]
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu
ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka
hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
3.
Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang
sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan.
Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka
persaksiannya tertolak.”[15]
4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu
pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya
alat musik.”[17]
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan
yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam
melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh
berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang
disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin
mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya
pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan
nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati.
Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya
dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk
mendengarnya.”[18]
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
(yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada
orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan
dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin
adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang
ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan
hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak
masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin
yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan
santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan
begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu
senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan
tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir
(nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi
lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”[19]
Adapun
melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun
tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang
dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
4. Tidak diiringi alat musik.
5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah
Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan
Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang
disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak
bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari
memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an
dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena
keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk
mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga
kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa.
Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng
dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan
nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan
hal-hal tadi.”[22]
Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya
karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan
musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih
baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya
Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu
pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri
dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-lahan
perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga
Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca
risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil.
Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta
mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini
dengan merujuk kepada mereka.
Musik dan nyanyian, merupakan suatu
media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan
di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang
kosong dari musik dan nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan
toko-toko, di bus, angkutan kota ataupun mobil pribadi, di
tempat-tempat umum, serta rumah sakit. Bahkan di sebagian tempat yang
dikenal sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi, yaitu masjid, juga tak
luput dari pengaruh musik.
Merebaknya musik dan lagu ini
disebabkan banyak dari kaum muslimin tidak mengerti dan tidak mengetahui
hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya
sebagai sesuatu yang mubah, halal, bahkan menjadi konsumsi setiap kali
mereka membutuhkannya. Jika ada yang menasihati mereka dan mengatakan
bahwa musik itu hukumnya haram, serta merta diapun dituduh dengan
berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru, ekstrem, dan segudang tuduhan
lainnya.
Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat
kecaman dari berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas
menjadikan dia bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus
ditampakkan. Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia,
menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya,
menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no.
2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah
Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih lagi, jika permasalahan yang
sebenarnya dalam timbangan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang
telah jelas. Hanya saja semakin terkaburkan karena ada orang yang
dianggap sebagai tokoh Islam berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja,
serta menganggapnya halal untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara
mereka, adalah Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram,
Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya
dari kalangan rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm t
sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan tersebut.
Oleh
karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum musik, lagu
dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n, serta
perkataan para ulama salaf.
01. Definisi Musik
Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata ‘azafa
yang berarti BERPALING. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari sesuatu,
maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan laki-laki yang
‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling darinya. Bila
dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya adalah yang
tidak senang kepada mereka.
Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf
(مِعْزَفٌ), dan disebut juga ‘azfun (عَزْفٌ). Mi’zaf adalah sejenis alat
musik yang dipakai oleh penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu
dan dijadikan sebagai alat musik. Al-‘Azif adalah orang yang bermain
dengannya.
Al-Laits t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat
musik yang dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Al-ma’azif adalah
alat-alat musik.” Al-Qurthubi t meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa
al-ma’azif adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang
dimaksud adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya
adalah suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif
adalah genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat
Tahdzib Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari,
10/57)
Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi
setiap alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet
(sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul Qayyim t berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat musik,
dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul
Lahafan, 1/260-261)
02. Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan, atau
dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada gamelan,
ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan
sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik
jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah
(gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya
atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar
bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang
mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada
bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti
qanun dan qitsar (sejenis seruling).
Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan berulang
atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu mengeluarkan bunyi
saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu menggunakan
jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul tergantung
kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran yang terjadi.
Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis
alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama,
atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah
tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah
Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
03. Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu
Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim
1. Firman Allah :
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat Allah l
ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang dimaksud adalah
nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang menafsirkan ayat dengan
tafsir ini adalah:
q Abdullah bin ‘Abbas c, beliau mengatakan
tentang ayat ini: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang
semisalnya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad
(no. 1265), Ibnu Abi Syaibah (6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya
(21/40), Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223),
dan dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal.
142-143)).
Abdullah bin Mas’ud z, tatkala beliau ditanya
tentang ayat ini, beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang
tiada Ilah yang haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya
tiga kali. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi
Syaibah, Al-Hakim (2/411), dan yang lainnya.
Al-Hakim mengatakan:
“Sanadnya shahih,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh
Al-Albani, lihat kitab Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
q ‘Ikrimah t.
Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ikrimah tentang makna
(lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau menjawab: ‘Nyanyian’.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya (2/2/217), Ibnu Jarir
dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan Al-Albani dalam At-Tahrim
hal. 143).
Mujahid bin Jabr t. Beliau mengucapkan seperti apa
yang dikatakan oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no.
1167, 1179, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang
sebagiannya shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari
jalan Ibnu Juraij, dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna
al-lahwu dalam ayat tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani
berkata: Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu
Juraij mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
q Al-Hasan Al-Bashri t, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi t menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159) dan
menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata: “Aku
belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim hal.
144)
Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya
Al-Wasith (3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna
lahwul hadits adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal
ini adalah semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian,
seruling, musik, dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
2. Firman Allah :
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian
menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (An-Najm:
59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
Ibnu Abbas. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu jika
mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main. Dan
ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa penduduk
Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (27/82),
Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Bazzar
dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)
‘Ikrimah.
Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian, menurut bahasa
Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Syaibah, 6/121)
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai, dan
yang semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan
dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud
sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu
tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan:
‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong,
dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas c berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu
kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’
Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai,
luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan
mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)
3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu
yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan
anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh
setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud
“menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu”
adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal
tersebut adalah:
Mujahid. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan untuk
bermaksiat kepada Allah k. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang paling
benar dalam hal ini adalah bahwa Allah l telah mengatakan kepada Iblis:
‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di antara
mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara
tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya,
kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada
ketaatan kepada Allah l, maka termasuk dalam makna suara yang Allah l
maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah t berkata tatkala menjelaskan ayat ini: “Sekelompok ulama
salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara nyanyian’. Hal itu
mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis suara lainnya yang
menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah k.” (Majmu’ Fatawa,
11/641-642)
Ibnul Qayyim berkata: “Satu hal yang telah
dimaklumi bahwa nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan
kemaksiatan.” (Ighatsatul Lahafan, 1/255)
Dalil-dalil dari As-Sunnah
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى
جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي
الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛
فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan
umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat
musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak gunung kembali bersama
ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang kepada mereka meminta
satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan: ‘Kembalilah kepada kami besok.’
Lalu Allah k membinasakan mereka di malam hari dan menghancurkan bukit
tersebut. Dan Allah mengubah yang lainnya menjadi kera-kera dan
babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan dalam
sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata…”1 tidaklah
memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari t tidak
dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga
hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t berkata: “(Tentang) alat-alat (musik) yang melalaikan, telah
shahih apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari t dalam Shahih-nya secara
ta’liq dengan bentuk pasti (jazm), yang masuk dalam syaratnya.”
(Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula
pembahasan lengkap tentang sanad hadits ini dalam Silsilah Ash-Shahihah,
Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata setelah
menyebutkan panjang lebar tentang keshahihan hadits ini dan membantah
pendapat yang berusaha melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah
penjelasan ini– melemahkan hadits ini, maka dia adalah orang yang
sombong dan penentang.
Dia termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan
walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna
hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang menganggap
halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang haram.
Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka menganggap
perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan mendatangkan
berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik z, bahwa Rasulullah n bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika
mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar
dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah,
6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan penguat-penguat
yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah , dari Abdurrahman bin ‘Auf z, dia berkata:
Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ
فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ
شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ
وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara
yang bodoh dan fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan
permainan, seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar
wajah, merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi,
4/69, dan yang lainnya.
Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no. 1005)
An-Nawawi t berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas c, dia berkata: Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan
khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR.
Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam
Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan
Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata al-kubah telah
ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama ‘Ali bin Badzimah, bahwa
yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang), dan
al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap yang
memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158,
Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan
Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
Atsar dari Ulama Salaf
1. Abdullah bin Mas’ud z berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan Ibnu
Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya, 10/223,
dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam At-Tahrim
hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya lemah)
2.
Ishaq bin Thabba` t berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas t
tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka beliau
mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang melakukannya
adalah orang yang fasiq.” (Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam
Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244,
dengan sanad yang shahih)
Beliau juga ditanya: “Orang yang
memukul genderang dan berseruling, lalu dia mendengarnya dan merasakan
kenikmatan, baik di jalan atau di majelis?”
Beliau menjawab:
“Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika ia merasa enak
dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu kebutuhan, atau dia
tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka hendaklah dia mundur
atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’, Al-Qairawani, 262)
3. Al-Imam Al-Auza’i t berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz t menulis sebuah
surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang menyebarkan
alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam Islam.”
(Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5/270.
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)
4. ‘Amr bin
Syarahil Asy-Sya’bi t berkata: “Sesungguhnya nyanyian itu menimbulkan
kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan tanaman. Dan
sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang menumbuhkan
tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr Ash-Shalah, 2/636.
Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan
pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin Salman, dari
Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan dan biduanita.”
(Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5. Ibrahim bin
Al-Mundzir t –seorang tsiqah (tepercaya) yang berasal dari Madinah,
salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari t– ditanya: “Apakah engkau
membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung kepada Allah k.
Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali orang-orang fasiq.”
(Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih, lihat At-Tahrim hal.
100)
6. Ibnul Jauzi t berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam
Asy-Syafi’i t mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak
diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar
orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka
adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang
khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.
Lalu beliau
berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan orang yang taat
di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan dalam hal
tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya serta
didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para
pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang
biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal.
283-284)
7. Ibnu Abdil Barr t berkata: “Termasuk hasil usaha yang
disepakati keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap),
mengambil upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku
mengetahui perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala
permainan batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8. Ath-Thabari t berkata:
“Telah sepakat para ulama di berbagai negeri tentang dibenci dan
terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 14/56)
9. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Mazhab empat imam menyatakan bahwa
alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits riwayat
Al-Bukhari t di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Masih banyak lagi
pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang haramnya musik beserta
nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah cukup menjelaskan
perkara ini.
Wallahu a’lam.
Minggu, Mei 04, 2014
Saatnya Meninggalkan Musik
Label:
Hakikat Kehidupan
Al-Ustadz Muhammad Umar As-Seweed حفظه الله
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah Subhanahu wa Ta'ala itu dengan sabdanya :
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَوْنُهُمْ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيْدُ الاَدَاءَ وَ النَّاكِحُ الَّذِي يُرِيْدُ الْعَفَافَ
"Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah. Yaitu, mujahid fi sabilillah, budak yang menebus dirinya supaya merdeka, dan orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar