Asy-Syaikh Muhammad bin Hady Al-Madkhaly hafizhahullah
Ini juga ada yang mengatakan yang
sama yaitu silsilah syubhat “Kita tidak boleh masuk pada masalah-masalah
tahdzir karena kita baru belajar dan tidak akan bisa memahaminya dan
kita serahkan semuanya kepada ulama.”
Baiklah, para ulama
memperingatkanmu. Para ulamalah yang memperingatkan dirimu, karena
engkau baru belajar dan tidak bisa memahami bantahan-bantahan ini. Jika
memang engkau baru belajar dan tidak bisa memahami, maka wahai anakku,
cukup bagimu perkataan ulama: “Ini baik, maka kerjakanlah. Ini orang
yang baik dan di atas As-Sunnah, maka hendaknya engkau selalu dekat
bersamanya. Sedangkan yang ini adalah keburukan dan bid’ah, maka
waspadailah. Dan ini adalah orang yang buruk dan suka berbuat bid’ah,
maka waspadailah dia!”
Jadi para ulama memperingatkan
dirimu karena engkau baru belajar sehingga engkau belum bisa memahami
ucapan-ucapan yang menipu yang ditujukan kepadamu. Jadi memperingatkan
kaum Muslimin yang masih awam yang tidak bisa memahami, caranya adalah
dengan menyampaikan kepada mereka perkataan yang ringkas. Karena ini
termasuk bentuk nasehat bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan
bagi para pemimpin kaum Muslimin dan bagi mereka secara umum. Dan engkau
termasuk salah satu dari mereka.
JADI MEMPERINGATKAN ORANG YANG BARU BELAJAR ADALAH PERKARA YANG BENAR, tetapi
engkau jangan masuk pada masalah-masalah bantahan! Yaitu dengan engkau
menyangka bisa menulis dan memaparkan bantahan. Karena engkau tidak tahu
perkara-perkara semacam ini. Kewajibanmu dalam masalah seperti ini
adalah mengikuti para ulama yang ahli dalam bidangnya. Jadi ikutilah
ucapan mereka, yaitu para ulama Ahlus Sunnah.
Ahmad rahimahullah berkata:
مِنْ فَضْلِ اللهِ عَلَى الْحَدَثِ وَالْأَعْجَمِيِّ إِذَا أَسْلَمَ أَنْ يُوَفِّقَهُ اللهُ لِصَاحِبِ السُّنَّةِ.
“Termasuk karunia Allah terhadap
anak muda dan orang kafir yang baru masuk Islam adalah dengan memberinya
taufik untuk mendapatkan orang yang membimbingnya dari Ahlus Sunnah.”
(Yang semisal perkataan ini juga diriwayatkan dari Ayyub As-Sikhtayany.
Lihat: Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, terbitan Daar Thayyibah, I/66
no. 30 –pent)
Jadi seorang Ahlus Sunnah akan
menunjukkan dan membimbingmu serta mengarahkanmu. Karena seorang
pengajar yang suka memberi nasehat seperti inilah jalannya. فَمَا حَوَى
الْغَايَةَ فِيْ أَلْفِ سَنَةٍ — شَخْصٌ فَخُذْ مِنْ كُلِّ فَنٍّ
أَحْسَنَه بِحِفْظِ مَتْنٍ جَامِعٍ لِلْرَّاجِحِ — تَأْخُذُهُ عَلَى
مُفِيْدٍ نَاصِحٍ
Seseorang tidak akan bisa mencampai puncak ilmu walaupun seratus tahun lamanya
Karena itulah maka ambillah yang terbaik dari setiap bidang ilmu
Yaitu dengan cara menghafal matan yang mengumpulkan pendapat yang lebih kuat
Pelajarilah dengan bimbingan seorang yang memberi faedah dan suka menasehati
Karena itulah maka ambillah yang terbaik dari setiap bidang ilmu
Yaitu dengan cara menghafal matan yang mengumpulkan pendapat yang lebih kuat
Pelajarilah dengan bimbingan seorang yang memberi faedah dan suka menasehati
Seorang “mufid” pada syair di atas
adalah orang yang memiliki ilmu dan bisa memberi faedah kepadamu, dan
dia juga harus seorang yang suka memberi nasehat. Jika dia melihatmu
menuju penyimpangan atau kebengkokan maka dia akan menasehatimu. ADAPUN
ORANG YANG CUMA MENGAJARI TETAPI TIDAK MENASEHATI, MAKA ORANG YANG
SEMACAM INI DIA BUKAN YANG MENGINGINKAN KEBAIKAN BAGIMU DAN DIA TIDAK
PANTAS UNTUK MENGAJAR.
وَلَكِنْ كُوْنُوْا كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ.
“Tetapi hendaklah kalian menjadi rabbani.” (QS. Ali Imran: 79)
(Ibnu Abbas berkata: Ada yang
mengatakan: seorang rabbani adalah yang mendidik manusia dengan
ilmu-ilmu yang ringan sebelum ilmu-ilmu yang berat.” Lihat: Fathul Bary
terbitan Daarus Salam, I/213 –pent)
Seorang pengajar kedudukannya
seperti orang tua, sedangkan sifat orang tua adalah menyayangi anaknya.
Dan Nabi shallallahu alaihi was sallam bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ.
“Sesungguhnya aku bagi kalian kedudukannya adalah seperti orang tua.”
Seperti yang pernah saya katakan kepada kalian pada hadits Abu Dawud, walaupun sanadnya diperselisihkan.
Kelanjutan hadits tersebut:
فَإِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِظِ فَلْيَذْهَبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ أَوْ تُجْزِئُهُ.
“Jika salah seorang dari kalian
ingin buang air besar maka hendaknya dia membawa 3 buah batu, karena hal
itu mencukupinya.” (Lihat: Shahih Sunan Abu Dawud no. 6 –pent)
Hadits ini memiliki syawahid, hanya saja lafadz “orang tua” tetap ada, walaupun sanadnya diperselisihkan.
Yang menjadi dalil di sini adalah
bahwa seorang pengajar tugasnya adalah mengajari dan mendidik serta
menasehati murid-muridnya untuk melakukan kebaikan yang dia ketahui
untuk mereka. Dan ini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu
alaihi was sallam.
إِنَّهُ مَا مِنْ نَبِيٍّ مِنْ
الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ
مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُحَذِرَهُمْ مِنْ شَرِّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ.
“Sesungguhnya tidak seorang nabi
pun kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang
dia ketahui untuk mereka, dan memperingatkan mereka dari keburukan yang
dia ketahui.” (Lihat: Shahih Muslim no. 1844 –pent)
Sedangkan para ulama adalah pewaris
para nabi, mereka menunjukkan manusia kepada kebaikan yang mereka
ketahui serta memperingatkan manusia dari keburukan yang mereka ketahui
juga demi kebaikan untuk mereka.
Mungkin kita cukupkan di sini untuk membantah syubhat ini. Hanya Allah saja yang memberikan taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar