بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ:
MEMULIAKAN AL-QUR’AN BUKAN DENGAN MENCIUMNYA
[Petikan nasihat dari Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani]
[Petikan nasihat dari Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani]
Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul
‘Alamin dari atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang
diagungkan keberadaannya oleh kaum muslimin. Mereka menghormatinya,
memuliakan, dan menyucikannya. Namun terkadang pengagungan dan
penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang semestinya. Artinya,
mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan bentuk
pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak
menyepakatinya.
Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di
kalangan kaum muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan
berbuat seperti itu mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa
penjelasan syariat tentang hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah
Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani rahimahullah berikut ini.
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara
yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan
setiap bid’ah itu sesat.”[1]
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.”[2]
Kebanyakan orang memiliki anggapan
khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan
mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan
dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan
kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali
untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah
bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi
yang awal dari umat ini, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?” Tanpa
ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu
adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah
hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah ‘Azza
wajalla itu dibolehkan atau dilarang?”
Berkaitan dengan masalah ini, kita
bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih
keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar
diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang
shalih.
Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis
bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ
تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ
يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah
batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat.
Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”[3]
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq
radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ
“Hajar Aswad (batu) dari surga.”[4]
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah
yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah
Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah
batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!”
Ataukah jawabannya karena memurnikan
ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang
menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium/mengecupmu niscaya aku
tidak akan menciummu….”
Dengan demikian, hukum asal mencium
seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah
berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik
dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit,
bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu
‘anhum kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an
jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar.
Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang
yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, niscaya
ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai
saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka
mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku,
apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengagungkan
Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan
Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan
pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an?
Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang,
semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap
bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tidak pernah naik mobil dan pesawat, –pent.).”
Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah
yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan
dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru
yang belum pernah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
-pent.) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun
terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat
untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak
diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar
ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan
maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah
(peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang
ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan,
“Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wajalla kecuali
dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”
Engkau lihat bila salah seorang dari
ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang
menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf
Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak
memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap
Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an.
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini.
Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka
namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka
mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika
engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?”
Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah ‘Azza wajalla!”
Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu,
catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan
Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan
kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari
hadits palsu:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْأَذَانَ فَقُوْمُوْا
“Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.”[5]
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan
tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para
pendusta. Semestinya lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti
dengan: قُوْمُوْا (…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْأَذَانَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”[6]
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi
bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wata’ala. Buktinya bila
mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri
karenanya.
Akan tetapi apakah ia mengamalkan
Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah
ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba?
Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang
menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wata’ala? Apakah dan
apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita
berhenti dalam apa yang Allah Subhanahu wata’ala syariatkan kepada kita
berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu
huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari
apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku
perintahkan kepada kalian.”[7]
Maka apakah amalan yang engkau lakukan
itu dapat mendekatkanmu kepada Allah ‘Azza wajalla? Bila jawabannya,
“Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang membenarkan perbuatan tersebut.
Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah,
seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa
masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada
di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan
jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun
kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya
bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah
dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak
ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah
pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah
di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan
(dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita ‘Azza wajalla
dan juga kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Seolah yang
membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah ‘Azza
wajalla dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)
*********************
HUKUM MERENDAHKAN WALIYYUL AMRI
Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
HUKUM MERENDAHKAN WALIYYUL AMRI
Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Syariat yang lurus telah melarang dari
tindakan merendahkan waliyyul amri [pemerintah –red] karena hal itu akan
menyebabkan hilangnya ketaatan yang semestinya diberikan kepada mereka.
Melemahkan kewibawaan waliyyul amri dan sibuk mencelanya, mencari-cari
kekurangannya, adalah satu kesalahan besar dan pelanggaran yang fatal
serta pangkal terjadinya kerusakan agama dan dunia.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Para tokoh dan pembesar dari sahabat-sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam melarang kami dari merendahkan dan mencela umara.”
Asy-Syaikh Abdurrahman as- Sa’di
rahimahumallah juga menegaskan bahwa kewajiban semua orang adalah
menahan kesalahan-kesalahannya (waliyyul amri) dan tidak boleh
menyibukkan diri dengan mencelanya, tetapi hendaknya berdoa memohon
taufik kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk waliyyul amri, sebab
mencelanya justru akan menimbulkan kerusakan yang besar dan bahaya yang
merata. (ad-Dur al-Mantsur)
Barang siapa merendahkan waliyyul amri
atau pemerintah, berarti ia melepaskan ikatan Islam dari lehernya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلَامِ مِن عنُقِهِ
“Sesungguhnya akan ada setelahku
penguasa, maka janganlah kalian merendahkannya. Siapa yang hendak
merendahkannya, sungguh ia melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR.
Ahmad dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
Segala hal yang mengandung unsur
penghinaan dan merendahkan waliyyul amri adalah haram. Yang wajib adalah
menghormatinya, karena menghormati waliyyul amri berarti menghormati
Islam dan muslimin. Mereka layak dihormati karena kedudukannya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
hafizhahullah berkata, “Perkara ini (menghormati waliyyul amri) wajib
mendapatkan perhatian serius, karena di sinilah letak kemaslahatan Islam
dan muslimin. Kemaslahatan yang akan kembali kepada kaum muslimin dalam
menghormati waliyyul amri jauh lebih banyak dibandingkan kemaslahatan
yang kembali kepada waliyyul amri itu sendiri. Maka dari itu, mengetahui
perkara ini dan mengamalkannya adalah hal yang dituntut. Sebab, kaum
muslimin sangat membutuhkan persatuan dan kerja sama dengan waliyyul
amr, terkhusus pada masa yang banyak keburukan seperti sekarang ini.
Tidak sedikit dai yang justru mengajak kepada kesesatan. Mereka
menyebarkan kejelekannya di tengah-tengah kaum muslimin dengan segala
cara untuk merusak kewibawaan pemerintah dan melemahkan pemerintahan.
Seluruh kaum muslimin hendaknya betul-betul memerhatikan hal ini.
Apabila ada pihak yang ingin memecah belah urusan kaum muslimin dan
menggunjing waliyyul amri, hendaknya dinasihati dan diberitahu bahwa hal
ini tidak boleh, bukan jalan keluar dari problem.” (al-‘Ilam bi
kaifiyyati Tanshibil Imam fil Islam)
Sumber:
> http://asysyariah.com/memuliakan-al-quran-bukan-dengan-menciumnya/
> http://asysyariah.com/kajian-utama-hukum-merendahkan-waliyyul-amri/
> http://asysyariah.com/memuliakan-al-quran-bukan-dengan-menciumnya/
> http://asysyariah.com/kajian-utama-hukum-merendahkan-waliyyul-amri/
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ
[1] Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34
[2] Shalatut Tarawih, hal. 75
[3] Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41
[4] Shahihul Jami’, no. 2174
[5] Adh-Dha’ifah, no. 711
[6] Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384
[7] Ash Shahihah, no. 1803
Tidak ada komentar:
Posting Komentar