Sabtu, April 04, 2015

Jagalah Rumah Anda !

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Sesungguhnya nikmat-nikmat Allah subhanahu wata’ala yang ada pada kita teramat banyak, tak terhitung jumlahnya. Yang demikian ini menuntut dari kita untuk membalasnya dengan rasa syukur dan memanfaatkan semua itu untuk kebaikan dan ketakwaan. Tidak bosan-bosannya kita mengingatkan akan hal ini, dengan harapan nikmat-nikmat tersebut tetap dan terus berada pada kita bahkan ditambah dengan nikmat lain yang belum kita dapatkan.
Ketahuilah wahai para pembaca rahimakumullah, di antara nikmat terbesar yang manusia rasakan adalah diberikannya kepada mereka tempat tinggal (rumah, hunian, kediaman) baik ketika berada di daerahnya sendiri (mukim) atau ketika sedang safar agar mereka bisa tinggal di dalamnya, beristirahat, melindungi diri dan harta serta ragam manfaat yang lainnya.
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tentang hal ini dalam al-Qur’an:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الأنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS. an-NahI: 80)
Suatu hal yang wajar jika sekiranya nikmat tempat tinggal ini terhitung nikmat terbesar dari nikmat-nikmat yang ada. Ya, memang demikian keadaannya. Rumah atau tempat tinggal merupakan nikmat besar dari Allah yang patut untuk disyukuri oleh setiap insan, baik yang telah memilikinya sendiri ataupun yang masih mengontrak yang selalu menghitung hari menanti berakhirnya masa pinjaman. Karena jika kita mau menengok sejenak, banyak di antara manusia yang tidak diberikan nikmat yang satu ini. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, senantiasa nomaden, hidup dan beristirahat di tempat yang kurang layak bahkan tidak selayaknya dijadikan tempat untuk merebahkan dan meluruskan punggungnya.
  • Harus Beda!
Sebagai seorang muslim tentunya harus terpatri dalam diri untuk senantiasa berbuat amal kebajikan di segala lini kehidupan. Salah satu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah rumah. Sudah sepatutnya bagi dirinya untuk menghiasi rumahnya dengan kegiatan-kegiatan positif terkait permasalahan rumah yang memang dituntunkan dalam agama ini sehingga rumah tersebut menjadi madrasah kebaikan bagi anggota keluarga serta terbedakan dengan rumah-rumah orang-orang kafir Iainnya.
Para pembaca rahimakumullah, di antara bentuk kegiatan positif yang bisa kita amalkan di rumah adalah:
  1. Memperbanyak dzikir di dalamnya.
Dalam sebuah hadits, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، وَالْبَيْتِ الَّذِي لَايُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَايِّتِ
“Permisalan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dengan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya bagaikan permisalan orang hidup dengan mati.” (HR. Muslim)
Bagaimana bisa dikatakan demikian? Ya, penghuni rumah yang senantiasa berdzikir Allah subhanahu wata’ala akan menghidupkan hatinya dengan berdzikir kepada-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala dadanya maka ia seperti orang yang hidup. Adapun penghuni rumah jenis kedua maka hatinya tidak pernah merasa tenang dan jiwanya tidak pernah merasa lapang sebagaimana layaknya seorang yang mati. Hatinya keras bahkan terkadang mati, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Syarh Riyadush Shalihin ibn al-Utsaimin rahimahulloh)
  1. Memperbanyak mengerjakan shalat sunnah di dalamnya.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian (yakni shalat sunnah). Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang mulia ini baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghasung kaum muslimin untuk menghidupkan rumah-rumah mereka dengan mengerjakan shalat sunnah di dalamnya sehingga tidak seperti layaknya kuburan yang memang tidak ada akitivas shalat padanya. Tentu yang dimaksudkan dari shalat sunnah di sini adalah selain shalat-shalat sunnah yang disyari’atkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat istisqa’, shalat tarawih, dan yang semisalnya.
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang keutamaan shalat sunnah di rumah:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Hendaknya kalian shalat (sunnah) di rumah-rumah kalian karena sesungguhnya sebaik-balk shalat (sunnah) seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat fardhu (shalat wajib).” (HR. Muslim)
  1. Memperbanyak membaca al-Qur’an di dalamnya terutama surat al-Baqarah.
Nabi kita yang mulia menyatakan:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya Setan Iari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah.” (HR Muslim)
  1. Hendaknya membuat tata ruang yang baik dalam rangka menjaga aurat, kehormatan, harga diri dan privasi.
Poin yang keempat ini sering terlupakan oleh kebanyakan kaum muslimin. Rumah-rumah mereka kurang bisa menjadi pelindung bagi aurat anggota keluarga dan privasi mereka bahkan dengan mudahnya orang yang tidak berhak (baik yang bukan mahram atau orang lain secara umum) keluar masuk tanpa izin. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat Jika kalian tidak menemui seorang pun didalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum mendapat izin. Dan jika dikatakan kepada kalian “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih suci bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (an-Nur: 27-28)
Maka seorang mukmin yang memiliki sifat cemburu tidak akan ridha jika ada orang luar/asing yang keluar masuk ke rumahnya dan berbaur dengan anggota keluarganya tanpa ada batasan, tidak memperdulikan privasi dan aurat dirinya dan keluarganya. Sudahkah kita punya sifat cemburu semacam ini?
  1. Hindari dan menyimpan gambar makhluk bernyawa, patung dan memelihara anjing!
Suatu hal yang sangat didamba seorang muslim ketika malaikat rahmat berkenan untuk singgah di kediamannya. Sebaliknya pula, amat sangat disayangkan jika malaikat tersebut enggan untuk singgah dikarenakan ada sesuatu hal di dalam rumah tersebut yang menjadi penghalang singgahnya mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa haditsnya telah mengabarkan yang demikian ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَة
“Malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (makhluk bernyawa).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan;
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلَا تَمَاثِيلُ
“Malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung-patung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Realita ini terpampang di hadapan kita. Betapa banyak rumah-rumah kaum muslimin yang dipenuhi dengan gambar (foto dan semisalnya) makhluk bernyawa, patung-patung makhluk hidup dan anjing. Aduhai sekiranya mereka tahu bahwa pemasangan gambar-gambar dan patung-patung makhluk hidup merupakan salah satu kebiasaan kaum jahiliyyah dan para penyembah berhala pada zaman terdahulu yang kita dilarang darinya.
Hal ini dikarenakan pemasangan patung dan gambar makhluk bernyawa tersebut menjadi perantara kepada kesyirikan sebagaimana yang terjadi pada kaum nabi Nuh ‘alaihissalam dan kaum nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Adapun terkait memelihara anjing, baginda Nabi hanya membolehkan anjing yang digunakan untuk berburu dan untuk menjaga tanaman. Hal ini sebagaimana tersebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
مَنِ اِقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memelihara anjing maka akan berkurang pahala yang dia miliki sebesar 2 qirath setiap harinya, kecuali anjing untuk berburu dan untuk menjaga tanaman.”
Adapun selain anjing pemburu dan penjaga maka dilarang karena mengandung beberapa mudharat:
  • Menghalangi singgahnya malaikat rahmat ke dalam rumah, sebagaimana tersebutkan dalam hadits di atas. Maka adakah seorang muslim yang tidak butuh dengan malaikat rahmat?
  • Mengurangi pahala sebesar 2 qirath setiap harinya. 1 qirath sebesar gunung uhud.
  • Tasyabuh (meniru) dengan gaya hidup kaum kuffar yang gemar memelihara anjing, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk menyerupai/meniru mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa meniru suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud)
  • Banyaknya dampak negatif yang timbul dan anjing seperti mengganggu orang lain baik secara fisik, suara anjing itu sendiri ataupun liurnya dan bagian yang lain dari anjing tersebut yang najis dan bermudharat.
Para pembaca rahimakumullah, demikianlah beberapa hal yang hendaknya diterapkan oleh seorang muslim di dalam rumahnya. Maka sungguh berbahagia anggota keluarga yang hidup dalam rumah yang dipenuhi dengan amalan-amalan tersebut. Rumah yang menjadi sumber kebajikan, disinggahi oleh malaikat rahmat dan terjauhkan dan setan.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memberi kita taufik untuk bisa mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari bersama di atas. Allahu a’Iam bishshawab, semoga bermanfaat. (Disarikan dan aI-Khuthab al-Minbariyyah as-Syaikh al-Fauzan hafidzahulloh 3/189 dengan adanya penambahan dan pengurangan) Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abduflah Imam hafidzahulloh. [Disalin dari Buletin Al-Ilmu Ma’had As-Salafy Jember edisi no. 14/IV/XIII/1436 H]

**********************
TINGKATAN MANUSIA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

 Syaikh Al-Utsaimin rahimahulloh berkata: Dalam menghadapi musibah, manusia terdiri dari beberapa derajat:
  • Yang pertama: Orang yang bersyukur
  • Yang kedua: Orang yang ridho
  • Yang ketiga: Orang yang bersabar
  • Yang keempat: Orang yang berkeluh kesah
Adapun orang yang berkeluh-kesah, maka dia telah melakukan sesuatu yang diharamkan dan kecewa dengan ketentuan Robb semesta alam yang di tangan-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Dia memiliki kekuasaan, Dia melakukan apa yang Dia kehendaki.
Adapun orang yang bersabar, maka sungguh dia telah menunaikan kewajiban. Orang yang sabar adalah orang yang memikul musibah tersebut, yaitu dia melihat bahwa musibah itu pahit, berat, sulit, dan dia tidak menyukai terjadinya musibah itu, namun dia tetap memikulnya dan menahan dirinya dari sesuatu yang diharamkan. Dan ini adalah wajib.
Adapun orang yang ridho, maka dia adalah orang yang tidak mempedulikan musibah ini, dan dia melihat bahwa musibah ini dari sisi Allah, lalu dia rela menerima dengan kerelaan yang sempurna, dan tidak ada dalam hatinya rasa sedih atau penyesalan terhadap musibah itu, karena dia rela menerima dengan kerelaan yang sempurna. Dan tingkatannya lebih tinggi dari tingkatan orang yang sabar. Oleh karena inilah, sikap ridho itu disukai (mustahab) dan bukan wajib.
Dan orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur kepada Allah atas musibah ini. Namun bagaimana bisa dia bersyukur kepada Allah atas musibah ini padahal itu adalah penderitaan?
Jawabannya ada dari dua sisi.
Sisi pertama, hendaknya dia memandang kepada orang yang diberi musibah yang lebih besar, maka dia bersyukur kepada Allah karena dia tidak ditimpa musibah yang seperti itu. Dan atas hal ini, ada sebuah hadits:
ﻻ ﺗﻨﻈﺮﻭا ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﻮ ﻓﻮﻗﻜﻢ، ﻭاﻧﻈﺮﻭا ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻨﻜﻢ، ﻓﺈﻧﻪ ﺃﺟﺪﺭ ﺃﻻ ﺗﺰﺩﺭﻭا ﻧﻌﻤﺔ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ
“Janganlah kalian melihat pada orang yang diatas kalian, dan lihatlah pada orang yang dibawah kalian, karena itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”. (HR. Al-Bukhory dan Muslim)
Sisi kedua, hendaknya dia mengetahui bahwa dengan sebab musibah ini, akan dihapus kejelekan-kejelekan dan ditinggikan derajat jika bersabar, kemudian apa yang ada di akhirat itu lebih baik dari yang ada di dunia, sehingga dia bersyukur kepada Allah.
Dan juga, orang yang paling keras musibahnya tiada lain adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, lalu yang semisal itu, lalu yang semisal itu. Maka dia berharap agar dijadikan sebagai orang shalih dengan sebab musibah itu, sehingga dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ini. (Syarhul Mumti’)

Sumber:
  • Situs http://buletin-alilmu.net
  • Group WhatsApp Ashhaabus Sunnah.
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar