بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
**********************
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Sesungguhnya nikmat-nikmat Allah subhanahu wata’ala
yang ada pada kita teramat banyak, tak terhitung jumlahnya. Yang
demikian ini menuntut dari kita untuk membalasnya dengan rasa syukur dan
memanfaatkan semua itu untuk kebaikan dan ketakwaan. Tidak
bosan-bosannya kita mengingatkan akan hal ini, dengan harapan
nikmat-nikmat tersebut tetap dan terus berada pada kita bahkan ditambah
dengan nikmat lain yang belum kita dapatkan.
Ketahuilah wahai para pembaca rahimakumullah, di
antara nikmat terbesar yang manusia rasakan adalah diberikannya kepada
mereka tempat tinggal (rumah, hunian, kediaman) baik ketika berada di
daerahnya sendiri (mukim) atau ketika sedang safar agar mereka bisa
tinggal di dalamnya, beristirahat, melindungi diri dan harta serta ragam
manfaat yang lainnya.
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tentang hal ini dalam al-Qur’an:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ
سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الأنْعَامِ بُيُوتًا
تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ وَمِنْ
أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى
حِينٍ
“Dan Allah menjadikan bagimu
rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu
rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa
ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan
(dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing,
alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu
(tertentu).” (QS. an-NahI: 80)
Suatu hal yang wajar jika sekiranya
nikmat tempat tinggal ini terhitung nikmat terbesar dari nikmat-nikmat
yang ada. Ya, memang demikian keadaannya. Rumah atau tempat tinggal
merupakan nikmat besar dari Allah yang patut untuk disyukuri oleh setiap
insan, baik yang telah memilikinya sendiri ataupun yang masih
mengontrak yang selalu menghitung hari menanti berakhirnya masa
pinjaman. Karena jika kita mau menengok sejenak, banyak di antara
manusia yang tidak diberikan nikmat yang satu ini. Mereka yang tidak
memiliki tempat tinggal, senantiasa nomaden, hidup dan beristirahat di
tempat yang kurang layak bahkan tidak selayaknya dijadikan tempat untuk
merebahkan dan meluruskan punggungnya.
- Harus Beda!
Sebagai seorang muslim tentunya harus
terpatri dalam diri untuk senantiasa berbuat amal kebajikan di segala
lini kehidupan. Salah satu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah
rumah. Sudah sepatutnya bagi dirinya untuk menghiasi rumahnya dengan
kegiatan-kegiatan positif terkait permasalahan rumah yang memang
dituntunkan dalam agama ini sehingga rumah tersebut menjadi madrasah
kebaikan bagi anggota keluarga serta terbedakan dengan rumah-rumah
orang-orang kafir Iainnya.
Para pembaca rahimakumullah, di antara bentuk kegiatan positif yang bisa kita amalkan di rumah adalah:
- Memperbanyak dzikir di dalamnya.
Dalam sebuah hadits, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، وَالْبَيْتِ الَّذِي لَايُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَايِّتِ
“Permisalan rumah yang disebut nama
Allah di dalamnya dengan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya
bagaikan permisalan orang hidup dengan mati.” (HR. Muslim)
Bagaimana bisa dikatakan demikian? Ya, penghuni rumah yang senantiasa berdzikir Allah subhanahu wata’ala akan menghidupkan hatinya dengan berdzikir kepada-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala
dadanya maka ia seperti orang yang hidup. Adapun penghuni rumah jenis
kedua maka hatinya tidak pernah merasa tenang dan jiwanya tidak pernah
merasa lapang sebagaimana layaknya seorang yang mati. Hatinya keras
bahkan terkadang mati, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Syarh Riyadush Shalihin ibn al-Utsaimin rahimahulloh)
- Memperbanyak mengerjakan shalat sunnah di dalamnya.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian (yakni shalat sunnah). Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang mulia ini baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menghasung kaum muslimin untuk menghidupkan rumah-rumah mereka dengan
mengerjakan shalat sunnah di dalamnya sehingga tidak seperti layaknya
kuburan yang memang tidak ada akitivas shalat padanya. Tentu yang
dimaksudkan dari shalat sunnah di sini adalah selain shalat-shalat
sunnah yang disyari’atkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti
shalat istisqa’, shalat tarawih, dan yang semisalnya.
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang keutamaan shalat sunnah di rumah:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Hendaknya kalian shalat (sunnah) di
rumah-rumah kalian karena sesungguhnya sebaik-balk shalat (sunnah)
seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat fardhu
(shalat wajib).” (HR. Muslim)
- Memperbanyak membaca al-Qur’an di dalamnya terutama surat al-Baqarah.
Nabi kita yang mulia menyatakan:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya Setan Iari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah.” (HR Muslim)
- Hendaknya membuat tata ruang yang baik dalam rangka menjaga aurat, kehormatan, harga diri dan privasi.
Poin yang keempat ini sering terlupakan
oleh kebanyakan kaum muslimin. Rumah-rumah mereka kurang bisa menjadi
pelindung bagi aurat anggota keluarga dan privasi mereka bahkan dengan
mudahnya orang yang tidak berhak (baik yang bukan mahram atau orang lain
secara umum) keluar masuk tanpa izin. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا
وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ. فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا
حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ
أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta
izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik
bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat Jika kalian tidak menemui
seorang pun didalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum mendapat
izin. Dan jika dikatakan kepada kalian “Kembali (saja)lah, maka
hendaklah kalian kembali. Itu lebih suci bagi kalian dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (an-Nur: 27-28)
Maka seorang mukmin yang memiliki sifat
cemburu tidak akan ridha jika ada orang luar/asing yang keluar masuk ke
rumahnya dan berbaur dengan anggota keluarganya tanpa ada batasan, tidak
memperdulikan privasi dan aurat dirinya dan keluarganya. Sudahkah kita
punya sifat cemburu semacam ini?
- Hindari dan menyimpan gambar makhluk bernyawa, patung dan memelihara anjing!
Suatu hal yang sangat didamba seorang
muslim ketika malaikat rahmat berkenan untuk singgah di kediamannya.
Sebaliknya pula, amat sangat disayangkan jika malaikat tersebut enggan
untuk singgah dikarenakan ada sesuatu hal di dalam rumah tersebut yang
menjadi penghalang singgahnya mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa haditsnya telah mengabarkan yang demikian ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَة
“Malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (makhluk bernyawa).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan;
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلَا تَمَاثِيلُ
“Malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung-patung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Realita ini terpampang di hadapan kita.
Betapa banyak rumah-rumah kaum muslimin yang dipenuhi dengan gambar
(foto dan semisalnya) makhluk bernyawa, patung-patung makhluk hidup dan
anjing. Aduhai sekiranya mereka tahu bahwa pemasangan gambar-gambar dan
patung-patung makhluk hidup merupakan salah satu kebiasaan kaum
jahiliyyah dan para penyembah berhala pada zaman terdahulu yang kita
dilarang darinya.
Hal ini dikarenakan pemasangan patung
dan gambar makhluk bernyawa tersebut menjadi perantara kepada kesyirikan
sebagaimana yang terjadi pada kaum nabi Nuh ‘alaihissalam dan kaum nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Adapun terkait memelihara anjing, baginda Nabi hanya membolehkan anjing
yang digunakan untuk berburu dan untuk menjaga tanaman. Hal ini
sebagaimana tersebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
مَنِ اِقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memelihara anjing maka
akan berkurang pahala yang dia miliki sebesar 2 qirath setiap harinya,
kecuali anjing untuk berburu dan untuk menjaga tanaman.”
Adapun selain anjing pemburu dan penjaga maka dilarang karena mengandung beberapa mudharat:
- Menghalangi singgahnya malaikat rahmat ke dalam rumah, sebagaimana tersebutkan dalam hadits di atas. Maka adakah seorang muslim yang tidak butuh dengan malaikat rahmat?
- Mengurangi pahala sebesar 2 qirath setiap harinya. 1 qirath sebesar gunung uhud.
- Tasyabuh (meniru) dengan gaya hidup kaum kuffar yang gemar memelihara anjing, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk menyerupai/meniru mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa meniru suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud)
- Banyaknya dampak negatif yang timbul dan anjing seperti mengganggu orang lain baik secara fisik, suara anjing itu sendiri ataupun liurnya dan bagian yang lain dari anjing tersebut yang najis dan bermudharat.
Para pembaca rahimakumullah, demikianlah
beberapa hal yang hendaknya diterapkan oleh seorang muslim di dalam
rumahnya. Maka sungguh berbahagia anggota keluarga yang hidup dalam
rumah yang dipenuhi dengan amalan-amalan tersebut. Rumah yang menjadi
sumber kebajikan, disinggahi oleh malaikat rahmat dan terjauhkan dan
setan.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memberi kita taufik untuk bisa mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari bersama di atas. Allahu a’Iam bishshawab, semoga bermanfaat. (Disarikan dan aI-Khuthab al-Minbariyyah as-Syaikh al-Fauzan hafidzahulloh 3/189 dengan adanya penambahan dan pengurangan) Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abduflah Imam hafidzahulloh. [Disalin dari Buletin Al-Ilmu Ma’had As-Salafy Jember edisi no. 14/IV/XIII/1436 H]
**********************
TINGKATAN MANUSIA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH
Syaikh Al-Utsaimin rahimahulloh berkata: Dalam menghadapi musibah, manusia terdiri dari beberapa derajat:
- Yang pertama: Orang yang bersyukur
- Yang kedua: Orang yang ridho
- Yang ketiga: Orang yang bersabar
- Yang keempat: Orang yang berkeluh kesah
Adapun orang yang berkeluh-kesah, maka
dia telah melakukan sesuatu yang diharamkan dan kecewa dengan ketentuan
Robb semesta alam yang di tangan-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Dia
memiliki kekuasaan, Dia melakukan apa yang Dia kehendaki.
Adapun orang yang bersabar, maka sungguh
dia telah menunaikan kewajiban. Orang yang sabar adalah orang yang
memikul musibah tersebut, yaitu dia melihat bahwa musibah itu pahit,
berat, sulit, dan dia tidak menyukai terjadinya musibah itu, namun dia
tetap memikulnya dan menahan dirinya dari sesuatu yang diharamkan. Dan
ini adalah wajib.
Adapun orang yang ridho, maka dia adalah
orang yang tidak mempedulikan musibah ini, dan dia melihat bahwa
musibah ini dari sisi Allah, lalu dia rela menerima dengan kerelaan yang
sempurna, dan tidak ada dalam hatinya rasa sedih atau penyesalan
terhadap musibah itu, karena dia rela menerima dengan kerelaan yang
sempurna. Dan tingkatannya lebih tinggi dari tingkatan orang yang sabar.
Oleh karena inilah, sikap ridho itu disukai (mustahab) dan bukan wajib.
Dan orang yang bersyukur adalah orang
yang bersyukur kepada Allah atas musibah ini. Namun bagaimana bisa dia
bersyukur kepada Allah atas musibah ini padahal itu adalah penderitaan?
Jawabannya ada dari dua sisi.
Sisi pertama, hendaknya dia memandang
kepada orang yang diberi musibah yang lebih besar, maka dia bersyukur
kepada Allah karena dia tidak ditimpa musibah yang seperti itu. Dan atas
hal ini, ada sebuah hadits:
ﻻ ﺗﻨﻈﺮﻭا ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﻮ ﻓﻮﻗﻜﻢ، ﻭاﻧﻈﺮﻭا ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻨﻜﻢ، ﻓﺈﻧﻪ ﺃﺟﺪﺭ ﺃﻻ ﺗﺰﺩﺭﻭا ﻧﻌﻤﺔ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ
“Janganlah kalian melihat pada orang
yang diatas kalian, dan lihatlah pada orang yang dibawah kalian, karena
itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”. (HR. Al-Bukhory dan Muslim)
Sisi kedua, hendaknya dia mengetahui
bahwa dengan sebab musibah ini, akan dihapus kejelekan-kejelekan dan
ditinggikan derajat jika bersabar, kemudian apa yang ada di akhirat itu
lebih baik dari yang ada di dunia, sehingga dia bersyukur kepada Allah.
Dan juga, orang yang paling keras
musibahnya tiada lain adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih,
lalu yang semisal itu, lalu yang semisal itu. Maka dia berharap agar
dijadikan sebagai orang shalih dengan sebab musibah itu, sehingga dia
bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ini. (Syarhul Mumti’)
Sumber:
- Situs http://buletin-alilmu.net
- Group WhatsApp Ashhaabus Sunnah.
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar