Sabtu, April 04, 2015

HUKUM ISBAL

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka (kaki tersebut).”
Sarung, celana, jubah, atau yang semisal, biasanya dikenakan oleh kaum musbil hingga menutupi mata kaki. Kebiasaan yang perlu dikritisi secara tinjauan syariat Islam. Mengapa hal “remeh” semacam ini dibahas? Itulah kesempurnaan ajaran Islam. Cara berpakaian pun ada aturannya.
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5450), an-Nasa’i (no. 5330), dan Ahmad (2/498), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya dari riwayat Syu’bah, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits lain yang lafadznya senada cukup banyak, antara lain,
1. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat ath-Thabarani dalam al-Kabiir (3/138).
2. Hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu riwayat an-Nasa’i dan Ibnu Majah (no. 3572).
3. Hadits Aisyah x riwayat Ahmad (6/59, 254, 257).
4. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan lainnya. (ash- Shahihah, no. 2037) Isbal dan Musbil Isbalartinya menggunakan pakaian yang menutupi mata kaki, baik dalam bentuk sarung, celana, maupun jubah. Musbil adalah sebutan untuk orang yang melakukan isbal. Isbal telah menjadi pandangan sehari-hari dari kalangan kaum muslimin. Ada yang sama sekali tidak mengerti tentang keharamannya, ada yang sekadar mengikuti mode dan tren, juga ada yang tidak menaruh perhatian sedikit pun tentang hal ini. Sebenarnya, bagaimanakah hukum isbal itu? Hukuman apa yang diancamkan atas kaum musbil? Apakah hal ini termasuk masalah furu’—menurut kalangan tertentu—, sehingga tidak layak untuk diperdebatkan? Benarkah hal ini hanya masalah adat dan budaya orang Arab yang tidak berlaku di negeri kita, Indonesia? Adakah perbedaan antara musbil yang sombong dan musbil yang tidak sombong? Simaklah penjelasan ringkas berikut ini, barakallahu fikum.
Hukum Isbal
Isbal hukumnya haram, bahkan dapat dikategorikan sebagaikabair (dosa besar). Hukum ini berlandaskan pada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 106) dan lainnya,“Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidakmemandang ke arah mereka, juga tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.” Kata-kata ini diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai para sahabat bertanya, “Siapakah ketiga golongan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Orang musbil, orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Artinya, masalah isbal bukanlah masalah kecil. Tidak tepat juga jika masalah isbal dinilai sebagai masalah furu’. Anggapan sebagian kalangan bahwa masalah isbal hanyalah adat dan budaya orang Arab juga tidak benar. Ternyata, isbal termasuk dosa besar sesuai dengan sabda Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wasallam. Hukum isbal hanya berlaku untuk kalangan laki-laki. Sebab, ada hukum tersendiri bagi kaum wanita. Kekhususan hukum ini untuk kaum laki-laki telah dinukilkan ijma’ ulama oleh Ibnu Raslan dalam Syarah Sunan. (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud)
Apakah Isbal Hanya Berlaku untuk Sarung?
Sesuai lafadz hadits di atas, seolaholah, zahirnya menunjukkan hukum isbal hanya berlaku untuk sarung saja. Benarkah demikian? Al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul bab untuk hadits di atas bab “Pakaian yang Berada di Bawah Mata Kaki Akan Masuk Neraka.” Kemudian al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah menjelaskan, ”Demikianlah, al-Bukhari rahimahullah menyebutkan secara mutlakdan tidak memberikan taqyid (pembatasan) dengan ‘sarung’ sebagaimana yang terdapat di dalam lafadz hadits. Ini adalah isyarat bahwa hukum isbal berlaku secara umum baik untuk sarung, jubah, maupun pakaian lainnya. Sepertinya, al-Bukhari rahimahullahmengisyaratkan pada lafadz hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhuyang diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah; yang dinyatakan sahih oleh Abu Awanah dan Ibnu Hibban.” (Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari) Hukum isbal yang tidak hanya terbatas pada sarung juga dapat dipahami dari hadits-hadits lain tentang isbal yang disebutkan pada kajian kita ini.
Musbil Tanpa Disertai Sikap Sombong
Ada sekelompok orang yang kurang bisa menerima hukum isbal secara mutlak. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3665) dan Muslim (no. 2085) dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti.”
Kata mereka, “Larangan isbal hanya berlaku untuk orang yang sombong saja! Jika tidak disertai sikap sombong, tidak mengapa.” Jika berdasarkan ilmu kita berbicara, bukan hawa nafsu; jika di atas sikap hormat kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kita berhukum, tidak dengan menurutkan kesenangan hati; jika tidak mengambil sikap seenaknya kita sendiri, menerima satu hadits dan menolak hadits yang lain, walau tidak diakui secara lisan; tentu setiap hadits dapat diposisikan sebagaimana mestinya. Lihat dan teladanilah sikap para ulama. Mengenai hal ini, mereka merincinya menjadi dua masalah.
 1. Musbil disertai sikap sombong
Orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang seperti inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, dan tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azabyang pedih.”
2. Musbil tanpa diikuti oleh sikap sombong
Orang semacam ini siksanya di bawah tingkatan siksa jenis orang pertama. Orang seperti inilah yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang semacam inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, adadi dalam neraka.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Pendapat para ulama di atas didukung oleh sebuah riwayat dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4093), an-Nasa’i (no. 9714—9717), Ibnu Majah (no. 3573), dan yang lain, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah(no. 2017). Di dalam riwayat tersebut, dua keadaan di atas disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara berbeda dalam satu konteks. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka. Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya.”
Jadi, sabda Nabi, “Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, AllahSubhanahu wata’ala tidak akan memandangnya”, tidak berarti apabila isbal tidak disertai sikap sombong maka boleh. Bukan seperti itu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dipahami! Hal lain yang perlu dicermati jugaadalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat yang meriwayatkan hadits larangan isbal dengan disertai sikap sombong. Bagaimanakah praktik Abdullahbin Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hal ini? Bukankah beliau lebih layak untuk diteladani dalammemahami hadits tersebut?Ternyata, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang meriwayatkan hadits tentang larangan musbil dengan disertai sikap sombong, pada praktiknya menggunakan kain sarung di atas mata kaki, bahkan di pertengahan betis. Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2086)meriwayatkan dari Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, “Aku pernah bertemu RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan,‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab,  “Sampai pertengahan betis.” Bagaimana dengan Atsar tentang Abu Bakr ash-Shiddiqradhiyallahu ‘anhu?Sekelompok kecil orang di atas ternyata masih berusaha mencari alasan dan pembenaran, walau sangatdipaksakan. Kata mereka, “Abu Bakr juga terkadang musbil dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kepada beliau, ‘Sungguh, engkau tidak termasuk yang melakukan isbal dengan disertai sikap sombong’. Mereka memahami, “Jadi, larangan itu hanya berlaku pada orang musbil yang bersikap sombong. Jika tidak, boleh-boleh saja!” Pembaca, semoga Allah Subhanahu wata’ala menjaga Anda, marilah kita mencermati hadits tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dekat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ إِنَّكَ لَسْتَ : ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
“Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)
Ada beberapa hal yang harus dicermati tentang keadaan Abu Bakr di atas:
1. Tidak ada faktor kesengajaan isbal dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
2. Upaya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu untuk selalu menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki.
3. Yang terkadang turun menutupi mata kaki Abu Bakr adalah salah satu sisi pakaiannya. Artinya, sisi pakaian yang lain berada di atas mata kaki.
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merekomendasi Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang tidak sombong. Pertanyaannya, ”Apakah riwayat tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dapat disamakan dengan kaum musbil yang dengan sengaja telah melakukan isbal? Apakah mereka selalu berusaha menaikkan celana jika mulai menutupi mata kaki? Siapa yang merekomendasi mereka bebas dari sikap sombong?” Praktik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Lihatlah praktik para sahabat dalam hal ini. Abu Ishaq bertutur, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib .” (Majma’ az-Zawaid) Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada AllahSubhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424) Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda,
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلُ، فَإِنْ أَبَيْتَ، فَلاَ حَقَّ لِلْإِزَارِ فِيْ الْكَعْبَيْنِ
‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalamSyamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)
Sebagai penutup, marilah kita meresapi kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di bawah ini. Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkisah, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, ‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ؟
“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahanbetis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahiholeh al-Albani no. 97)
Sekarang, kita bisa menyampaikan kepada siapa saja yang bertanya tentang hukum isbal, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan pakaian di atas mata kaki, bahkan hingga di tengah betis.” Wallahu a’lam.
Sumber: http://asysyariah.com/hadits-hukum-isbal/

Jagalah Rumah Anda !

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Sesungguhnya nikmat-nikmat Allah subhanahu wata’ala yang ada pada kita teramat banyak, tak terhitung jumlahnya. Yang demikian ini menuntut dari kita untuk membalasnya dengan rasa syukur dan memanfaatkan semua itu untuk kebaikan dan ketakwaan. Tidak bosan-bosannya kita mengingatkan akan hal ini, dengan harapan nikmat-nikmat tersebut tetap dan terus berada pada kita bahkan ditambah dengan nikmat lain yang belum kita dapatkan.
Ketahuilah wahai para pembaca rahimakumullah, di antara nikmat terbesar yang manusia rasakan adalah diberikannya kepada mereka tempat tinggal (rumah, hunian, kediaman) baik ketika berada di daerahnya sendiri (mukim) atau ketika sedang safar agar mereka bisa tinggal di dalamnya, beristirahat, melindungi diri dan harta serta ragam manfaat yang lainnya.
Allah subhanahu wata’ala menyebutkan tentang hal ini dalam al-Qur’an:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الأنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS. an-NahI: 80)
Suatu hal yang wajar jika sekiranya nikmat tempat tinggal ini terhitung nikmat terbesar dari nikmat-nikmat yang ada. Ya, memang demikian keadaannya. Rumah atau tempat tinggal merupakan nikmat besar dari Allah yang patut untuk disyukuri oleh setiap insan, baik yang telah memilikinya sendiri ataupun yang masih mengontrak yang selalu menghitung hari menanti berakhirnya masa pinjaman. Karena jika kita mau menengok sejenak, banyak di antara manusia yang tidak diberikan nikmat yang satu ini. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, senantiasa nomaden, hidup dan beristirahat di tempat yang kurang layak bahkan tidak selayaknya dijadikan tempat untuk merebahkan dan meluruskan punggungnya.
  • Harus Beda!
Sebagai seorang muslim tentunya harus terpatri dalam diri untuk senantiasa berbuat amal kebajikan di segala lini kehidupan. Salah satu hal yang perlu untuk diperhatikan adalah rumah. Sudah sepatutnya bagi dirinya untuk menghiasi rumahnya dengan kegiatan-kegiatan positif terkait permasalahan rumah yang memang dituntunkan dalam agama ini sehingga rumah tersebut menjadi madrasah kebaikan bagi anggota keluarga serta terbedakan dengan rumah-rumah orang-orang kafir Iainnya.
Para pembaca rahimakumullah, di antara bentuk kegiatan positif yang bisa kita amalkan di rumah adalah:
  1. Memperbanyak dzikir di dalamnya.
Dalam sebuah hadits, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، وَالْبَيْتِ الَّذِي لَايُذْكَرُ اللهُ فِيهِ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَايِّتِ
“Permisalan rumah yang disebut nama Allah di dalamnya dengan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya bagaikan permisalan orang hidup dengan mati.” (HR. Muslim)
Bagaimana bisa dikatakan demikian? Ya, penghuni rumah yang senantiasa berdzikir Allah subhanahu wata’ala akan menghidupkan hatinya dengan berdzikir kepada-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala dadanya maka ia seperti orang yang hidup. Adapun penghuni rumah jenis kedua maka hatinya tidak pernah merasa tenang dan jiwanya tidak pernah merasa lapang sebagaimana layaknya seorang yang mati. Hatinya keras bahkan terkadang mati, wal ‘iyadzubillah. (Lihat Syarh Riyadush Shalihin ibn al-Utsaimin rahimahulloh)
  1. Memperbanyak mengerjakan shalat sunnah di dalamnya.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian (yakni shalat sunnah). Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits yang mulia ini baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghasung kaum muslimin untuk menghidupkan rumah-rumah mereka dengan mengerjakan shalat sunnah di dalamnya sehingga tidak seperti layaknya kuburan yang memang tidak ada akitivas shalat padanya. Tentu yang dimaksudkan dari shalat sunnah di sini adalah selain shalat-shalat sunnah yang disyari’atkan untuk dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat istisqa’, shalat tarawih, dan yang semisalnya.
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang keutamaan shalat sunnah di rumah:
فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Hendaknya kalian shalat (sunnah) di rumah-rumah kalian karena sesungguhnya sebaik-balk shalat (sunnah) seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat fardhu (shalat wajib).” (HR. Muslim)
  1. Memperbanyak membaca al-Qur’an di dalamnya terutama surat al-Baqarah.
Nabi kita yang mulia menyatakan:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Sesungguhnya Setan Iari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah.” (HR Muslim)
  1. Hendaknya membuat tata ruang yang baik dalam rangka menjaga aurat, kehormatan, harga diri dan privasi.
Poin yang keempat ini sering terlupakan oleh kebanyakan kaum muslimin. Rumah-rumah mereka kurang bisa menjadi pelindung bagi aurat anggota keluarga dan privasi mereka bahkan dengan mudahnya orang yang tidak berhak (baik yang bukan mahram atau orang lain secara umum) keluar masuk tanpa izin. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ. فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat Jika kalian tidak menemui seorang pun didalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum mendapat izin. Dan jika dikatakan kepada kalian “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih suci bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (an-Nur: 27-28)
Maka seorang mukmin yang memiliki sifat cemburu tidak akan ridha jika ada orang luar/asing yang keluar masuk ke rumahnya dan berbaur dengan anggota keluarganya tanpa ada batasan, tidak memperdulikan privasi dan aurat dirinya dan keluarganya. Sudahkah kita punya sifat cemburu semacam ini?
  1. Hindari dan menyimpan gambar makhluk bernyawa, patung dan memelihara anjing!
Suatu hal yang sangat didamba seorang muslim ketika malaikat rahmat berkenan untuk singgah di kediamannya. Sebaliknya pula, amat sangat disayangkan jika malaikat tersebut enggan untuk singgah dikarenakan ada sesuatu hal di dalam rumah tersebut yang menjadi penghalang singgahnya mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa haditsnya telah mengabarkan yang demikian ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَة
“Malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan gambar (makhluk bernyawa).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan;
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، وَلَا تَمَاثِيلُ
“Malaikat tidak akan masuk ke suatu rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung-patung.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Realita ini terpampang di hadapan kita. Betapa banyak rumah-rumah kaum muslimin yang dipenuhi dengan gambar (foto dan semisalnya) makhluk bernyawa, patung-patung makhluk hidup dan anjing. Aduhai sekiranya mereka tahu bahwa pemasangan gambar-gambar dan patung-patung makhluk hidup merupakan salah satu kebiasaan kaum jahiliyyah dan para penyembah berhala pada zaman terdahulu yang kita dilarang darinya.
Hal ini dikarenakan pemasangan patung dan gambar makhluk bernyawa tersebut menjadi perantara kepada kesyirikan sebagaimana yang terjadi pada kaum nabi Nuh ‘alaihissalam dan kaum nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Adapun terkait memelihara anjing, baginda Nabi hanya membolehkan anjing yang digunakan untuk berburu dan untuk menjaga tanaman. Hal ini sebagaimana tersebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
مَنِ اِقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ
“Barangsiapa memelihara anjing maka akan berkurang pahala yang dia miliki sebesar 2 qirath setiap harinya, kecuali anjing untuk berburu dan untuk menjaga tanaman.”
Adapun selain anjing pemburu dan penjaga maka dilarang karena mengandung beberapa mudharat:
  • Menghalangi singgahnya malaikat rahmat ke dalam rumah, sebagaimana tersebutkan dalam hadits di atas. Maka adakah seorang muslim yang tidak butuh dengan malaikat rahmat?
  • Mengurangi pahala sebesar 2 qirath setiap harinya. 1 qirath sebesar gunung uhud.
  • Tasyabuh (meniru) dengan gaya hidup kaum kuffar yang gemar memelihara anjing, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kita untuk menyerupai/meniru mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa meniru suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud)
  • Banyaknya dampak negatif yang timbul dan anjing seperti mengganggu orang lain baik secara fisik, suara anjing itu sendiri ataupun liurnya dan bagian yang lain dari anjing tersebut yang najis dan bermudharat.
Para pembaca rahimakumullah, demikianlah beberapa hal yang hendaknya diterapkan oleh seorang muslim di dalam rumahnya. Maka sungguh berbahagia anggota keluarga yang hidup dalam rumah yang dipenuhi dengan amalan-amalan tersebut. Rumah yang menjadi sumber kebajikan, disinggahi oleh malaikat rahmat dan terjauhkan dan setan.
Semoga Allah subhanahu wata’ala memberi kita taufik untuk bisa mengamalkan ilmu yang telah kita pelajari bersama di atas. Allahu a’Iam bishshawab, semoga bermanfaat. (Disarikan dan aI-Khuthab al-Minbariyyah as-Syaikh al-Fauzan hafidzahulloh 3/189 dengan adanya penambahan dan pengurangan) Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abduflah Imam hafidzahulloh. [Disalin dari Buletin Al-Ilmu Ma’had As-Salafy Jember edisi no. 14/IV/XIII/1436 H]

**********************
TINGKATAN MANUSIA DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

 Syaikh Al-Utsaimin rahimahulloh berkata: Dalam menghadapi musibah, manusia terdiri dari beberapa derajat:
  • Yang pertama: Orang yang bersyukur
  • Yang kedua: Orang yang ridho
  • Yang ketiga: Orang yang bersabar
  • Yang keempat: Orang yang berkeluh kesah
Adapun orang yang berkeluh-kesah, maka dia telah melakukan sesuatu yang diharamkan dan kecewa dengan ketentuan Robb semesta alam yang di tangan-Nya lah kerajaan langit dan bumi. Dia memiliki kekuasaan, Dia melakukan apa yang Dia kehendaki.
Adapun orang yang bersabar, maka sungguh dia telah menunaikan kewajiban. Orang yang sabar adalah orang yang memikul musibah tersebut, yaitu dia melihat bahwa musibah itu pahit, berat, sulit, dan dia tidak menyukai terjadinya musibah itu, namun dia tetap memikulnya dan menahan dirinya dari sesuatu yang diharamkan. Dan ini adalah wajib.
Adapun orang yang ridho, maka dia adalah orang yang tidak mempedulikan musibah ini, dan dia melihat bahwa musibah ini dari sisi Allah, lalu dia rela menerima dengan kerelaan yang sempurna, dan tidak ada dalam hatinya rasa sedih atau penyesalan terhadap musibah itu, karena dia rela menerima dengan kerelaan yang sempurna. Dan tingkatannya lebih tinggi dari tingkatan orang yang sabar. Oleh karena inilah, sikap ridho itu disukai (mustahab) dan bukan wajib.
Dan orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur kepada Allah atas musibah ini. Namun bagaimana bisa dia bersyukur kepada Allah atas musibah ini padahal itu adalah penderitaan?
Jawabannya ada dari dua sisi.
Sisi pertama, hendaknya dia memandang kepada orang yang diberi musibah yang lebih besar, maka dia bersyukur kepada Allah karena dia tidak ditimpa musibah yang seperti itu. Dan atas hal ini, ada sebuah hadits:
ﻻ ﺗﻨﻈﺮﻭا ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﻮ ﻓﻮﻗﻜﻢ، ﻭاﻧﻈﺮﻭا ﺇﻟﻰ ﻣﻦ ﻫﻮ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻨﻜﻢ، ﻓﺈﻧﻪ ﺃﺟﺪﺭ ﺃﻻ ﺗﺰﺩﺭﻭا ﻧﻌﻤﺔ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ
“Janganlah kalian melihat pada orang yang diatas kalian, dan lihatlah pada orang yang dibawah kalian, karena itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian”. (HR. Al-Bukhory dan Muslim)
Sisi kedua, hendaknya dia mengetahui bahwa dengan sebab musibah ini, akan dihapus kejelekan-kejelekan dan ditinggikan derajat jika bersabar, kemudian apa yang ada di akhirat itu lebih baik dari yang ada di dunia, sehingga dia bersyukur kepada Allah.
Dan juga, orang yang paling keras musibahnya tiada lain adalah para nabi, kemudian orang-orang shalih, lalu yang semisal itu, lalu yang semisal itu. Maka dia berharap agar dijadikan sebagai orang shalih dengan sebab musibah itu, sehingga dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ini. (Syarhul Mumti’)

Sumber:
  • Situs http://buletin-alilmu.net
  • Group WhatsApp Ashhaabus Sunnah.
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ

MEMULIAKAN AL-QUR’AN BUKAN DENGAN MENCIUMNYA

بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ:
MEMULIAKAN AL-QUR’AN BUKAN DENGAN MENCIUMNYA
[Petikan nasihat dari Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani]
Al-Qur`an yang diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin dari atas langit yang ketujuh adalah sebuah kitab yang diagungkan keberadaannya oleh kaum muslimin. Mereka menghormatinya, memuliakan, dan menyucikannya. Namun terkadang pengagungan dan penghormatan tersebut tidaklah sesuai dengan yang semestinya. Artinya, mereka menganggap perbuatan yang mereka lakukan merupakan bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap Kalamullah, padahal syariat tidak menyepakatinya.
Satu kebiasaan yang lazim kita lihat di kalangan kaum muslimin adalah mencium/mengecup mushaf Al-Qur`an. Dengan berbuat seperti itu mereka merasa telah memuliakan Al-Qur`an. Lalu apa penjelasan syariat tentang hal ini? Kita baca keterangan Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Imam Al-Albani rahimahullah berikut ini.


Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”[1]
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.”[2]
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula para tabi’in dan atba’ut tabi’in?” Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah ‘Azza wajalla itu dibolehkan atau dilarang?”
Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih.
Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، فَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ  يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”[3]
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ
“Hajar Aswad (batu) dari surga.”[4]
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!”
Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….”
Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhum kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar.
Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah naik mobil dan pesawat, –pent.).”
Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -pent.) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wajalla kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.”
Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an.
Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah ‘Azza wajalla!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْأَذَانَ فَقُوْمُوْا
“Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.”[5]
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: قُوْلُوا (…ucapkanlah), mereka ganti dengan: قُوْمُوْا (…berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْأَذَانَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku….”[6]
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wata’ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya.
Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wata’ala? Apakah dan apakah…? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah Subhanahu wata’ala syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ وَقَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.”[7]
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah ‘Azza wajalla? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang membenarkan perbuatan tersebut.
Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimana pun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita ‘Azza wajalla dan juga kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah ‘Azza wajalla dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)

*********************
HUKUM MERENDAHKAN WALIYYUL AMRI
Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Syariat yang lurus telah melarang dari tindakan merendahkan waliyyul amri [pemerintah –red] karena hal itu akan menyebabkan hilangnya ketaatan yang semestinya diberikan kepada mereka. Melemahkan kewibawaan waliyyul amri dan sibuk mencelanya, mencari-cari kekurangannya, adalah satu kesalahan besar dan pelanggaran yang fatal serta pangkal terjadinya kerusakan agama dan dunia.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Para tokoh dan pembesar dari sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami dari merendahkan dan mencela umara.”
Asy-Syaikh Abdurrahman as- Sa’di rahimahumallah juga menegaskan bahwa kewajiban semua orang adalah menahan kesalahan-kesalahannya (waliyyul amri) dan tidak boleh menyibukkan diri dengan mencelanya, tetapi hendaknya berdoa memohon taufik kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk waliyyul amri, sebab mencelanya justru akan menimbulkan kerusakan yang besar dan bahaya yang merata. (ad-Dur al-Mantsur)
Barang siapa merendahkan waliyyul amri atau pemerintah, berarti ia melepaskan ikatan Islam dari lehernya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلَامِ مِن عنُقِهِ
“Sesungguhnya akan ada setelahku penguasa, maka janganlah kalian merendahkannya. Siapa yang hendak merendahkannya, sungguh ia melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Ahmad dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)
Segala hal yang mengandung unsur penghinaan dan merendahkan waliyyul amri adalah haram. Yang wajib adalah menghormatinya, karena menghormati waliyyul amri berarti menghormati Islam dan muslimin. Mereka layak dihormati karena kedudukannya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Perkara ini (menghormati waliyyul amri) wajib mendapatkan perhatian serius, karena di sinilah letak kemaslahatan Islam dan muslimin. Kemaslahatan yang akan kembali kepada kaum muslimin dalam menghormati waliyyul amri jauh lebih banyak dibandingkan kemaslahatan yang kembali kepada waliyyul amri itu sendiri. Maka dari itu, mengetahui perkara ini dan mengamalkannya adalah hal yang dituntut. Sebab, kaum muslimin sangat membutuhkan persatuan dan kerja sama dengan waliyyul amr, terkhusus pada masa yang banyak keburukan seperti sekarang ini. Tidak sedikit dai yang justru mengajak kepada kesesatan. Mereka menyebarkan kejelekannya di tengah-tengah kaum muslimin dengan segala cara untuk merusak kewibawaan pemerintah dan melemahkan pemerintahan. Seluruh kaum muslimin hendaknya betul-betul memerhatikan hal ini. Apabila ada pihak yang ingin memecah belah urusan kaum muslimin dan menggunjing waliyyul amri, hendaknya dinasihati dan diberitahu bahwa hal ini tidak boleh, bukan jalan keluar dari problem.” (al-‘Ilam bi kaifiyyati Tanshibil Imam fil Islam)
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ

Footnote:
[1] Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34
[2] Shalatut Tarawih, hal. 75
[3] Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41
[4] Shahihul Jami’, no. 2174
[5] Adh-Dha’ifah, no. 711
[6] Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384
[7] Ash Shahihah, no. 1803