Kamis, Januari 15, 2015

BERBAGAI FITNAH TERJADI TERMASUK TANDA-TANDA TEGAKNYA HARI KIAMAT

Penanya: Kalau diperhatikan pada zaman ini, banyaknya fitnah, kejadian, dan kedengkian. Apakah ini termasuk dari tanda-tanda hari kiamat?
Jawaban: Tidak diragukan bahwa munculnya berbagai fitnah merupakan bagian dari tanda-tanda hari Kiamat. Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk memohon kepada Allah keselamatan dari berbagai fitnah. Jika terjadi fitnah, hendaklah dia tidak turut campur padanya. Bahkan semestinya dia menjauh dari fitnah tersebut serta menyibukkan diri dengan ibadah. Ibadah di masa peperangan (fitnah) bagaikan berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi waalihi wasallam.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits, menyibukkan diri dengan ibadah, tidak masuk dan bergabung ke dalam fitnah, serta menjauhi fitnah itu.
Nabi shallallahu ‘alaihi waalihi wasallam ketika menyebutkan kepada Hudzaifah bahwa akan terjadi berbagai fitnah dan muncul duat (para penyeru) fitnah yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam, Hudzaifah berkata, “Apa yang Anda perintahkan kepada saya jika mendapati hal yang demikian, wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Hendaklah engkau berpegang dengan jama’ah kaum muslimin dan pimpinan mereka.
Ini termasuk perkara terbesar yang akan menjaga (seseorang) dari berbagai fitnah, setiap muslim bergabung dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.
Hudzaifah berkata, “Jika kaum muslimin tidak memiliki jama’ah tidak pula imam?”
Nabi bersabda, “Menyingkirlah dari seluruh kelompok-kelompok (sesat tersebut) walaupun engkau harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu sementara engkau dalam keadaan demikian (tidak bergabung dengan kelompok-kelompok sesat tersebut, pen)”
Alih bahasa: Ustadz Abu Bakar Jombang

Minggu, Januari 11, 2015

JALAN MERAIH MANISNYA IMAN

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, (3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran—setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya darinya—sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.”
Takhrij Hadits
Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhari Rahimahullah meriwayatkan dalam “Kitabul Iman” bab “Halawatil Iman (Manisnya Iman)” (1/60 no. 16), dan dalam “Kitab al-Ikrah” bab “Man Ikhtara adh-Dharb wal Qatl wal Hawan ‘alal Kufri (Orang yang Lebih Memilih Pukulan, Bunuh, atau Kebinasaan daripada Kekafiran)” (16/315 no. 6941).
Al-Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu di atas dalam “Kitabul Iman”, bab “Khishal man Ittashafa Bihinna Wajada Halawatal Iman (Sifat-Sifat yang Dengannya Seseorang Merasakan Manisnya Iman)” no. 163.
Hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan pula oleh para imam ahlul hadits lain dengan beberapa perbedaan lafadz.
Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, demikian pula an-Nasai, meriwayatkan dengan lafadz,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ وَطَعْمَهُ: أَنْ يَكُونَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ فِي اللهِ وَأَنْ يَبْغُضَ فِي اللهِ، وَأَنْ تُوقَدَ نَارٌ عَظِيمَةٌ فَيَقَعَ فِيهَا أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يُشْرِكَ بِاللهِ شَيْئًا
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manis dan lezatnya iman: (1) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; (2) ia mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membenci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala; dan (3) seandainya api yang sangat besar dinyalakan lalu ia dilemparkan ke dalamnya, itu lebih ia sukai daripada menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Iman, Pokok Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari oleh setiap manusia. Mereka siap mengorbankan apa pun yang berharga—termasuk jiwa—demi memperoleh kebahagiaan itu.
Banyak manusia mendefinisikan kebahagiaan, namun yang pasti kebahagiaan hakiki bukan pada banyaknya harta, tingginya kedudukan atau status sosial, walaupun kebanyakan manusia menilai kebahagiaan dengan banyaknya dunia yang dikumpulkan.
Dunia memang dijadikan indah dalam pandangan manusia hingga banyak manusia tertipu dengan hijau dan gemerlapnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”(Ali Imran: 14)
Dunia memang indah, namun benarkah anggapan kebanyakan manusia bahwa dunia adalah kebahagiaan dan puncak keberuntungan? Mari kita tadabburi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikutnya,
Katakanlah, “Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah, dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa, “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 15—16)
Ayat ini menunjukkan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya adalah dengan iman dan amalan saleh, dengan bertakwa kepada-Nya. Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 96)
Hakikat Iman
Iman bukan sekadar keyakinan atau pengakuan semata. Al-Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata,
لَيْسَ الْإِيْمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا باِلتَّمَنِّي وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَتْهُ الْأَعْمَالُ
“Sesungguhnya iman bukanlah angan-angan atau pengakuan semata, namun iman adalah keyakinan yang tertancap dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [1/80])
Ya, iman bukan sekadar angan-angan. Iman adalah keyakinan yang kokoh dalam hati yang dibuktikan dengan ucapan lisan dan amal perbuatan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, serta orang-orang yang menunaikan zakat….” (al-Mu’minun: 1—4)
Saudaraku, rahimakumullah. Iman dimisalkan sebagai sebuah pohon yang sangat indah sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24—25)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memisalkan kalimat iman—kalimat yang paling indah—dengan sebuah pohon yang paling indah dengan sifat-sifatnya yang terpuji. Akar-akarnya kokoh, tumbuh dengan sempurna, terus-menerus mengeluarkan buah-buahnya setiap saat dan waktu. Manfaat-manfaatnya pun terus dirasakan pemiliknya dan orang lain. Pohon ini berbeda-beda keadaannya sesuai dengan perbedaan kalbu orang-orang yang beriman perbedaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sifat-sifatnya.
Maka dari itu, seorang hamba yang mendapatkan taufik seharusnya terus berupaya mengenali pohon iman itu, mengenali sifat-sifat dan sebab-sebabnya, pokok-pokok dan cabang-cabangnya, kemudian mencurahkan segala kemampuannya untuk mewujudkan pohon iman itu dengan ilmu dan amal. Sesungguhnya, bagian kebaikan dan keberuntungan seseorang di dunia dan akhirat itu sesuai dengan keadaan pohon iman tersebut.” (at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman)
Manisnya Iman
Jika iman terus dipupuk dengan amalan saleh dan dijaga dari segala hal yang merusaknya, yaitu syirik, bid’ah, dan maksiat [1], sebagaimana seseorang memelihara pohon kurma yang sangat ia sayangi, setiap pagi dan sore ia sirami, tidak lupa ia memupuknya dan menjauhkannya dari hama dan penyakit, sungguh orang tersebut akan senantiasa mendapatkan kebahagiaan, kedamaian, ketenteraman yang tidak bisa dilukiskan. Ia akan mendapatkan manisnya iman sebagaimana hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ
“Ada tiga hal yang ada pada diri seseorang, dia akan merasakan manisnya iman.” (al-Hadits)
Asy-Syaikh al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam mengabarkan bahwa iman memiliki rasa manis dalam kalbu. Jika seorang hamba telah merasakan manisnya iman, manisnya iman akan menghiburnya dari segala kesenangan duniawi (yang tidak ia peroleh, -pen.) dan (menyelamatkannya dari) berbagai dorongan hawa nafsu, serta akan mewujudkan kehidupan yang thayyibah (penuh kebahagiaan). Karena, seseorang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya pastilah ia akan selalu berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikianlah keadaan orang yang mencintai sesuatu pasti akan banyak menyebutnya. Ia juga akan bersungguh-sungguh dalam mengikuti Rasul Shallallahu `alaihi wa sallam dan lebih mendahulukan ketaatan kepada beliau Shallallahu `alaihi wa sallam daripada ucapan orang lain. Ia pun lebih mendahulukan beliau Shallallahu `alaihi wa sallam daripada kehendak hawa nafsunya.
Orang yang demikian keadaannya, akan tenteram dan selalu dihiasi dengan ketaatan. Dadanya menjadi lapang untuk Islam. Ia pun berada di atas cahaya dari Rabbnya. Namun, kebanyakan orang yang beriman belum mencapai derajat yang sangat tinggi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan setiap orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Rabbmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (al-An’am: 132) (at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman hlm. 56)
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang manisnya iman. Al-Abbas bin Abdil Muththalib Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْناً وَمُحَمَّدٍ رَسُولاً
“Akan merasakan manisnya iman, seorang yang ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 150 dan at-Tirmidzi no. 2623)
Atsar Salaf Tentang Manisnya Iman
Pembaca, rahimakumullah. Sebagai generasi terbaik, para sahabat telah merasakan lezatnya iman. Kebahagiaan pun telah mereka raih bersama bimbingan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam. Mari kita simak beberapa atsar sahabat tentang halawatul iman.
Sahabat Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya,
يَا بُنَيَّ، إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ : إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ. قَالَ: رَبِّ، وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ. يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ: مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي.
Wahai anakku, sungguh engkau tidak akan mendapatkan kelezatan hakikat iman hingga engkau meyakini bahwasanya apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpamu tidak akan luput darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak mungkin mengenai dirimu. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, yang pertama kali diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah qalam (pena), lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Pena berkata, ‘Wahai Rabbku, apa yang aku tulis?’ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Tulislah takdir-takdir segala sesuatu hingga tegak hari kiamat’.”
Wahai anakku, sungguh aku mendengar Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mati tidak di atas keimanan kepada takdir, ia bukan dari golonganku.” (Sunan Abu Dawud no. 4078, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat peraih janji surga berkata,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: الْإِنْفَاقُ مِنَ الْإِقْتَارِ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ، وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: berinfak di masa sempit, bertindak adil kepada manusia, dan menebarkan salam kepada manusia.” (Riwayat Abdurrazaq dalam al-Mushannaf no. 19439 dari Ma’mar, dari Abu Ishaq, dari Shilah bin Zufar, dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu)
Abdullah bin Mas’ud al-Hudzali Radhiyallahu ‘anhu berkata,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ يَجِدُ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: تَرْكُ الْمِرَاءِ فِي الْحَقِّ، وَالْكَذِبِ فِي الْمِزَاحَةِ، وَيَعْلَمُ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ
“Tiga hal yang jika itu ada pada seseorang, niscaya ia akan meraih manisnya iman: meninggalkan perdebatan dalam keadaan ia benar, meninggalkan dusta meskipun dalam gurauan, serta ia yakin bahwa apa yang ditakdirkan pasti tidak akan luput darinya, dan apa yang tidak ditakdirkan tidak akan menimpanya.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir [9/157 no. 8790] dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf no. 20082)
Berlomba Meraih Manisnya Iman
Hadits-hadits dan atsar sahabat di atas menunjukkan bahwa manisnya iman bisa dirasakan oleh seorang mukmin. Namun, kelezatan dan manisnya iman tersebut tentu bertingkat-tingkat, berbeda antara seorang mukmin dan mukmin lainnya.
Kelezatan iman dalam kalbu seorang mukmin yang kokoh adalah kenikmatan yang agung, melebihi kenikmatan-kenikmatan dunia, bahkan tidak bisa dibandingkan. Bisa jadi, seseorang mengalami kekurangan dari sisi duniawi, namun sesungguhnya ia orang yang berada di puncak kebahagiaan karena iman yang tertanam dalam kalbunya.
Suatu saat, Ibrahim bin Adham [2] t—salah seorang ulama ahlul hadits dan ahli zuhud di zamannya—berjalan dalam sebuah safar bersama sahabat-sahabatnya. Dalam perjalanan tersebut, mereka beristirahat untuk menikmati bekal berupa potongan roti kering—bukan daging dan roti basah dari tepung gandum halus yang biasa dihidangkan di meja para raja. Kemudian Ibrahim turun ke sungai. Dia ambil air dengan tangannya, meneguknya dengan menyebut Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, lantas berkata,
لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ لَجَالَدُونَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوفِ
“Seandainya para raja dan para pangeran mengetahui (kebahagiaan dan kelezatan) yang sedang kita rasakan, niscaya mereka akan berebut dengan kita dengan pedang-pedang (karena iri dan tidak mendapatkan kebahagiaan itu, –pen.).” (Hilyatul Auliya 7/370)
Subhanallah, demikianlah kebahagiaan meliputi kalbu manakala iman telah mendarah daging. Sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dicapai oleh para penguasa dunia.
Sebagian salaf mengungkapkan kelezatan iman dengan ucapannya,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”
Kelezatan iman adalah surga di dunia ini. Sebagian ulama berkata,
إِنَّ فِي الدُّنْيَا جَنَّةً، مَنْ لَمْ يَدْخُلْهَا لاَ يَدْخُلُ جَنَّةَ الْآخِرَةِ
“Sungguh, di dunia ada surga, siapa yang belum memasuki surga di dunia itu, ia tidak akan masuk surga di akhirat.” (Surga yang dimaksud adalah kelezatan iman yang berupa kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, –pen.)
Di muka bumi ini ada manusia yang mencapai puncak-puncak keimanan hingga kelezatan iman ia rasakan. Ada pula yang hanya memiliki iman seberat dzarrah atau lebih ringan. Bahkan, kebanyakan manusia tidak mau masuk ke dalam keimanan, wal-‘iyadzu billah.
Cara Meraih Manisnya Iman
Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menyebutkan tiga sifat yang dengannya seorang mukmin mendapatkan manisnya iman. Tiga sifat inilah yang seharusnya diminta oleh setiap insan muslim kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka berlomba menggapainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“… dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (al-Muthaffifin: 26)
Sifat pertama yang harus dimiliki guna meraih manisnya iman adalah mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta mendahulukan keduanya daripada kecintaan terhadap yang lain. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak akan sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.”
Cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bukan sekadar pengakuan. Ia harus dibuktikan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Adalah dusta jika seseorang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, namun ia tidak mengikuti akidah Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, dan yang dia ikuti justru kesyirikan atau khurafat. Adalah dusta jika seseorang yang mengaku dirinya lebih mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dari segala sesuatu, namun ketika beribadah lebih memilih kebid’ahan-kebid’ahan. Demikian pula, adalah dusta jika seseorang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, namun berpaling dari ilmu syariat.
Kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula sebaliknya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya, hanya diperoleh dengan ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam.
Barang siapa mentadabburi ayat ini, niscaya ia akan sadar bahwa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebaliknya, kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, akan diperoleh manakala seorang terus menapaki jejak Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam dalam segala sisi kehidupan.
Jika seorang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya melebihi kecintaan atas segala sesuatu, kebahagiaan dan kelezatan iman akan mengiringi perjalanan hidupnya. Apa pun yang dihadapi dalam perjalanan hidupnya tidaklah menambah selain kebahagiaan, kebaikan, serta ketinggian derajat di dunia dan di akhirat. Namun, apabila seseorang lebih mengutamakan kecintaan yang lain di atas kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, tunggulah datangnya ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (at-Taubah: 24)
Sebuah kejadian tertulis dalam referensi-referensi sirah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam, menunjukkan betapa sahabat adalah orang-orang yang sangat bahagia dengan kelezatan iman yang menghiasi diri mereka, dengan mendahulukan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Dikisahkan, seusai Perang Uhud, pasukan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam memasuki Madinah. Seorang wanita dari Bani Dinar mendapatkan kabar kematian ayah, saudara kandung, dan suaminya sekaligus. Sungguh, berita yang sangat menyedihkan. Namun, wanita itu terus bertanya tentang
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, bagaimana keadaan beliau? Begitu ia mendengar dan melihat Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam selamat, kesedihan itu sirna. Dari lisannya mengalir ucapan,
كُلُّ مُصِيبَةٍ بَعْدَكَ جَلَلٌ
“Semua musibah (yang menimpaku) tidak ada artinya setelah engkau (mendapatkan keselamatan).”
Ketenangan dan kebahagiaan di saat musibah karena kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan jihad, melebihi segala sesuatu.
Sifat kedua yang menyebabkan seorang mukmin merasakan manisnya iman adalah mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula dalam membenci, membela, dan memerangi, semua karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Cinta dan benci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah tali iman yang paling kokoh, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam,
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali iman yang paling kokoh adalah memberikan loyalitas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, memusuhi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan membenci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. ath-Thabarani dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [2/734 no. 998])
Cinta dan benci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah konsekuensi kecintaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang jujur cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencintai apa yang dicintai-Nya Subhanahu wa Ta’ala, juga membenci apa yang dibenci-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, di antara doa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, bahkan beliau mewasiatkan umatnya untuk berdoa dengannya—adalah,
أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنِي إِلَى حُبِّكَ
“Ya Allah, aku memohon agar aku mencintai-Mu dan mencintai orang-orang yang mencintai-Mu serta mencintai semua amalan yang mendekatkanku kepada cinta kepada-Mu.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad, dinyatakan dha’if oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’, kemudian beliau menyatakannya sahih dalam Sunan at-Tirmidzi no. 3235 dan al-Misykah no. 747)
Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah berkata, “Dalam doa ini, selain meminta kecintaan kepada-Nya, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam juga memohon dua hal lainnya. Pertama, memohon untuk mencintai orang-orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah, orang yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti mencintai mereka yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membenci musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala…. Dan manusia termulia yang wajib dicintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah para nabi dan rasul-Nya, lebih-lebih Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam, nabi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan manusia mengikuti jalan beliau…. (Kedua), mencintai amalan yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Syarah hadits Ikhtisham al-Mala’il A’la)
Cinta dan benci karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri semakin terkikis di akhir zaman. Lihatlah, betapa banyak manusia mengikat kecintaannya bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka mengikat kecintaan dengan tarekat sufi, klub suporter sepak bola, geng motor, atau partai-partai yang mencerai-beraikan kaum muslimin. Saudaranya muslim dia benci hanya karena berbeda partai, sementara itu seorang fasik atau kafir dia sayangi karena satu partai. [3]
Abdullah bin al-Abbas bin Abdil Muththalib Radhiyallahu ‘anhuma berkata,
وَقَدْ صَارَتْ عَامَّةُ مُؤَاخَاةِ النَّاسِ عَلَى أَمْرِ الدُّنْيَا، وَذَلِكَ لاَ يُجْدِي عَلَى أَهْلِهِ شَيْئًا
“Sungguh, kebanyakan persaudaraan manusia karena urusan dunia (bukan lagi karena Allah), dan yang seperti itu tidaklah memberi manfaat sedikit pun padanya.”
Sebab ketiga adalah membenci kesyirikan dan kekafiran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api.
Kebencian terhadap kesyirikan dan segenap bentuk kekafiran diwujudkan dengan senantiasa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diselamatkan dari kekufuran dan agar hatinya selalu dikokohkan di atas keimanan. Hal itu diwujudkan pula dengan berusaha mengenali kekafiran agar ia bisa menghindarinya.

Bilal bin Rabah Radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat peraih surga, adalah salah satu sosok teladan dalam mempertahankan iman. Hatinya diliputi kecintaan kepada iman dan kebencian kepada kekufuran. Saat beliau disiksa oleh orang kafir Quraisy di kota Makkah di awal dakwah Islam, beliau dipaksa meninggalkan Islam.
Apakah kemudian beliau melepaskan keimanan? Tidak! Beliau justru mengatakan, “Ahad! Ahad!” Beliau tetap berada dalam agama tauhid hingga datang pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu membelinya dan membebaskannya dari perbudakan. [4]
Keluarga Yasir Radhiyallahu ‘anhu adalah contoh lain dari pengorbanan mempertahankan Islam. Orang kafir Quraisy menyiksa keluarga yang mulia ini. Yasir dan istrinya, Sumayyah, memperoleh kesyahidan. Darah keduanya tertumpah dalam keadaan ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha kepada keduanya. Jannah mereka raih setelah mereka merasakan manisnya iman dalam kehidupan dunia.
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda kepada mereka,
أَبْشِرُوا آلَ عَمَّارٍ وَآلَ يَاسِرٍ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ
“Berbahagialah kalian wahai keluarga ‘Ammar, wahai keluarga Yasir, karena sungguh tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah al-Jannah.” (Lihat Shahih as-Sirah an-Nabawiyah, asy-Syaikh al-Albani hlm. 154)
Mereka adalah kaum yang telah berlalu. Mereka meninggalkan dunia dengan penuh kebahagiaan. Tinggallah kita merenungi nasib kita masing-masing dan bertanya, “Sudahkah cinta saya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya lebih dari segalanya? Sudahkah cinta dan benci saya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala? Sudahkah saya dapatkan kebencian kepada kekufuran sebagaimana saya membenci diri saya dilemparkan ke dalam api?”
اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ
“Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami teladan yang membimbing dan mendapatkan bimbingan.”
Amin!


Kamis, Januari 08, 2015

Menjemput Hidayah

(Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Al-haq dan al-batil merupakan dua perkara yang bertolak belakang, tidak akan bisa bertemu apalagi menyatu. Al-haq adalah sesuatu yang sudah jelas sebagaimana jelasnya al-batil, sehingga tidak ada pertengahan di antara keduanya.
Allah l telah berfirman:
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (al-Balad: 10)
As-Sa’di berkata, “Kami menunjukkan kepadanya dua jalan yaitu jalan kebaikan dan jalan kejelekan serta Kami jelaskan antara petunjuk dan kesesatan serta antara kebenaran dan penyimpangan. Nikmat yang besar ini menuntut agar setiap hamba melaksanakan hak-hak Allah l dan mensyukuri nikmat-Nya serta tidak mempergunakannya dalam bermaksiat kepada Allah l, namun manusia tidak mau melaksanakannya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 855)
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insan: 3)
As-Sa’di berkata, “Kemudian Allah l mengutus kepada manusia para rasul dan menurunkan kepada mereka kitab-kitab dan Allah l memberikan hidayah kepada jalan yang akan menyampaikan kepada-Nya, menjelaskannya dan menganjurkan dengannya, dan Dia telah menerangkan apa yang akan didapatkan bila telah sampai kepada-Nya. Kemudian Allah l menjelaskan jalan kebinasaan dan memperingatkan darinya, serta memberitakan apa yang didapatkan bila dia menempuh jalan kebinasaan dan malapetaka tersebut.
Manusia pun terbagi. Ada yang mensyukuri nikmat Allah l dan melaksanakan segala apa yang merupakan hak-hak Allah l. Ada pula yang kufur terhadap nikmat Allah l. Allah l telah menganugerahinya nikmat agama dan dunia, namun dia menolaknya dan kufur kepada Rabb-nya. Dia justru menempuh jalan menuju kebinasaan.” (Tafsir as-Sa’di)
Kejelasan dua jalan yang berbeda ini sesungguhnya bagaikan matahari di siang bolong dan bulan purnama di malam hari. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mengenalnya apalagi mengilmuinya. Hal ini karena beberapa faktor, di antaranya:
1. Kebodohan yang menguasai setiap muslim.
2. Kelalaian manusia sehingga tidak mau mencari dan mempelajarinya.
3. Tidak memiliki niat untuk mendapatkannya.
4. Munculnya para penyeru kesesatan yang mengaku pengikut Rasulullah n namun berjiwa iblis.
Masih banyak lagi faktor lain yang menyebabkan tidak jelasnya kebenaran dan kebatilan. Apabila kita memerhatikan dengan saksama, kita bisa menyimpulkan bahwa seseorang bisa mendapatkan al-haq, berjalan di atasnya, dan terjauhkan dari kebatilan, adalah semata hidayah dari Sang Pencipta.
Hakikat Hidayah dan Macamnya
Kata hidayah berasal dari kata al-hadyu yang bermakna bimbingan hidup, perilaku, dan jalan, sebagaimana dalam firman Allah l:
“Sebagai pembimbing hidup bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 2)
Ali z berkata, “Rasulullah berkata kepadaku:
يَا عَلِيُّ سَلِ اللهَ الْهُدَى
‘Wahai ‘Ali, mintalah bimbingan kepada Allah l’.” (HR. al-Imam an-Nasa’i no. 5225 dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i no. 5210)
Dalam hadits yang lain disebutkan:
إِنَّ أَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya sebaik-baik bimbingan adalah bimbingan Rasulullah n.” (HR. al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2076, asalnya dalam riwayat Muslim no. 867 dari sahabat Jabir bin Abdullah z)
إِنَّ الْهَدْيَ الصَّالِحَ وَالسَّمْتَ الصَّالِحَ وَالْاِقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ
“Bimbingan yang baik dan perilaku yang baik serta berlaku lurus adalah satu bagian dari 25 bagian kenabian.” (Lihat Shahih wa Dhaif al-Jami’ no. 3756 dari sahabat Ibnu Abbas c)
Kita mengetahui bahwa salah satu nama Allah l adalah “Al-Haadi” yang artinya Dialah yang telah memperlihatkan dan mengajarkan jalan untuk mengenal-Nya sehingga mereka mengakui rububiyah Allah l. Dialah yang membimbing makhluk kepada apa yang dibutuhkannya untuk mempertahankan hidupnya.
Terkadang al-hadyu berarti ketaatan, sebagaimana firman Allah l:
“Mereka itulah orang-orang yang telah dibimbing menuju ketaatan, maka ikutilah ketaatan mereka.” (al-An’am: 90) (Lihat al-Qamus bab “Ha” dan an-Nihayah karya Ibnu Atsir 5/253)
Ada dua macam bentuk hidayah.
1. Hidayah al-irsyad (ad-dilalah) dan al-bayan
Hidayah ini artinya penjelasan dan keterangan kepada sebuah jalan. Hidayah ini dimiliki oleh Allah l dan oleh makhluk-Nya. Allah l berfirman tentang Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (al-Isra: 9)
Allah l menjelaskan tentang Nabi-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
“Orang yang beriman itu berkata, ‘Wahai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar’.” (Ghafir: 38)
2. Hidayah taufik
Hidayah ini hanya dimiliki oleh Allah l semata. Dia akan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan tidak memberikannya kepada yang tidak dikehendaki-Nya pula.
Tentang hidayah ini, Allah l berfirman:
“Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 142)
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (al-Qashash: 56)
Orang yang bertakwa kepada Allah l telah mendapatkan kedua jenis hidayah ini. Adapun selain orang yang bertakwa tidak mendapatkan hidayah taufik. Tentu saja, hidayah bayan tanpa hidayah taufik untuk mengamalkannya, maka dia bukanlah hidayah yang hakiki dan sempurna.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 23)
Syaikhul Islam bin Taimiyah t mengatakan, “Jika hanya sekadar berilmu tentang kebenaran tanpa mengamalkannya maka dia belum mendapatkan hidayah.” (Amradhul Qulub hlm. 32)
Contoh riil kedua jenis hidayah ini adalah ketika Allah l dan Rasul-Nya menjelaskan tentang keharaman sesuatu perkara melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lalu seorang dai menyampaikan ilmunya kepada umat tentang keharaman hal ini. Ini termasuk jenis hidayah yang pertama, hidayah dilalah dan bayan. Apabila umat ini menaati larangan tersebut dengan meninggalkannya, inilah hidayah taufik dari Allah l.
Abu Thalib, paman Rasulullah n sekaligus pembela beliau dalam berdakwah, mendapatkan hidayah ad-dilalah dan al-bayan dari Rasulullah n. Dia mengetahui agama yang benar. Namun, dia tidak mendapatkan hidayah taufik dari Allah l, sekalipun dia dekat dengan Rasul dari sisi nasab dan usaha untuk melindunginya. Hal itu bukan penjamin untuk dia beriman kepada Allah l.
“Ya Allah, tunjukilah kami ke jalan Engkau yang lurus”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kendatipun manusia mengaku bahwa Muhammad adalah rasul Allah l dan Al-Qur’an adalah benar secara global, namun dia tidak mengetahui berbagai ilmu tentang hal yang bermanfaat dan yang memudaratkannya. Dia tidak mengetahui segala perintah dan larangan berikut segala cabangnya secara rinci. Kalaupun ada yang telah diketahuinya, sangat jauh dari pengamalan. Jika ditakdirkan sampai kepadanya segala perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya menjelaskan hal-hal yang bersifat umum dan menyeluruh. Tidak mungkin selainnya, tidak disebutkan segala hal yang menjadi kekhususan setiap hamba.
Berdasarkan ini semua, Allah l memerintahkan manusia untuk meminta hidayah ke jalan-Nya yang lurus. Hidayah kepada jalan yang lurus mencakup pengetahuan tentang segala yang dibawa oleh Rasulullah n secara rinci. Termasuk pula mengilmui segala perintahnya secara menyeluruh. Bahkan, mencakup pula ilham untuk mengamalkan ilmu tersebut, karena jika hanya mengilmui kebenaran tanpa mengamalkannya maka itu bukanlah hidayah.
Oleh karena itu, Allah l berfirman kepada Nabi-Nya setelah perdamaian Hudaibiyah:
“Sesungguhnya Kami telah membukakan kemenangan yang nyata bagimu agar Allah mengampuni dosamu yang telah lewat dan yang akan datang serta agar Allah menyempurnakan nikmatnya atasmu dan memberimu hidayah kepada jalan yang lurus.” (al-Fath: 1—2)
Allah l berfirman tentang nabi Musa dan Harun e:
“Dan Kami telah memberi keduanya kitab yang jelas, dan Kami menunjuki keduanya ke jalan yang lurus.” (ash-Shaffat: 117—118)
Akan tetapi, kaum muslimin berselisih tentang berita yang datang dari Allah l, ilmu yang terkait dengan keyakinan dan amalan, padahal mereka bersepakat bahwa Muhammad adalah haq dan Al-Qur’an adalah haq. Jika masing-masing mereka mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus niscaya mereka tidak akan berselisih. Bahkan, kebanyakan orang mengetahui perintah Allah l, namun mereka memaksiatinya. Sekiranya mereka mendapatkan hidayah kepada jalan yang lurus, niscaya mereka akan mengamalkan segala perintah tersebut dan meninggalkan segala yang dilarang. Orang-orang yang telah mendapatkan hidayah Allah l dari umat ini, merekalah wali-wali Allah yang bertakwa. Termasuk salah satu sebab besar mereka mendapatkan hidayah itu adalah doa mereka kepada Allah l setiap shalat. Mereka juga mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang membutuhkan hidayah kepada jalan yang lurus.” (Amradhul Qulub hlm. 31—33)
Ibnul Qayyim t berkata, “Tunjukilah kami ke jalan yang lurus adalah hidayah al-bayan dan ad-dilalah kemudian taufik dan ilham. Hidayah taufik dan ilham ini datang setelah hidayah dilalah dan bayan. Tidak mungkin seseorang sampai kepada ad-dilalah dan al-bayan melainkan melalui para rasul. Apabila terwujud al-bayan dan ad-dilalah, lalu diilmui maka akan terwujud hidayah taufik. Allah l akan menjadikan iman di dalam hati, mencintainya, menghiasinya, dan menjadikan hati itu mengutamakan iman tersebut, ridha dan berloyalitas kepadanya. Semua ini merupakan wujud dua hidayah (al-bayan wad-dilalah dan taufik). Keberhasilan tidak akan terwujud melainkan dengan keduanya.
Kedua hidayah ini mengandung ilmu terhadap kebenaran yang telah diketahuinya baik secara rinci maupun global, serta ilham dalam kebenaran dan menjadikan kita termasuk orang yang mengikutinya baik dalam bentuk lahiriah maupun batiniah, kemudian diberi kemampuan untuk melaksanakan konsekuensi dari petunjuk tersebut baik dengan ucapan, perbuatan, maupun tekad yang kuat. Hal ini terjadi secara berkesinambungan dan kokoh sampai kita meninggal dunia. Berdasarkan hal ini, diketahui bahwa seorang hamba sangat butuh untuk meminta melalui doa di atas: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
Dari sini pula diketahui kekeliruan orang yang mengatakan, “Apabila kita telah mendapatkan hidayah, untuk apa kita memintanya?”
Sungguh, kebenaran yang tidak kita ketahui lebih banyak daripada yang kita ketahui. Apa yang tidak ingin kita kerjakan karena malas atau menggampangkannya sama banyak dengan apa yang kita inginkan, atau lebih banyak, atau lebih sedikit. Apa yang kita inginkan namun tidak mampu kita lakukan juga demikian. Demikian juga apa yang tidak kita ketahui secara global dan tidak mendapatkan hidayah secara rinci, tidak terhitung.
Oleh karena itu, kita membutuhkan hidayah yang sempurna. Barang siapa telah mendapatkan kesempurnaan dalam masalah ini, maka meminta hidayah artinya meminta kekokohan dan selalu berada di atasnya.” (Lihat Tafsir al-Qayyim karya Ibnul Qayyim hlm. 9)
Hidayah Akan Memisahkan antara Hati yang Hidup dan Mati
Hati disifati dengan hidup dan mati. Hati memiliki tiga keadaan, sehat (selamat), berpenyakit, atau mati. Dari ketiga jenis hati ini, orang yang paling celaka adalah orang yang memiliki hati yang mati.
Banyak definisi dari ulama tentang hati yang sehat (selamat). Akan tetapi, definisi yang paling mencakup adalah hati yang selamat dari dorongan syahwat yang menyelisihi perintah Allah l dan larangan-Nya, serta selamat dari segala syubhat yang mengotori berita (dari Allah dan Rasul-Nya), selamat dari bentuk penghambaan kepada selain Allah l, selamat dari berhukum kepada selain Allah l, selamat dalam cintanya kepada Allah l dengan menjadikan hukum Rasulullah n sebagai aturan dalam takut, harap, dan tawakalnya kepada Allah l, bertaubat kepada-Nya, menghinakan diri di hadapan-Nya, mengutamakan ridha-Nya dalam setiap kondisi, dan menjauhkan diri dari murka-Nya dengan berbagai cara.
Inilah hakikat ubudiyah yang tidak boleh diberikan melainkan kepada Allah l.
Hati yang berpenyakit adalah hati yang hidup namun berpenyakit. Hati ini memiliki dua unsur. Terkadang unsur satu yang menariknya dan terkadang yang lain, tergantung mana yang sedang berkuasa.
Hati yang mati adalah hati yang tidak memiliki kehidupan. Hati yang tidak mengenal Rabbnya, tidak menyembah-Nya dengan perintah-Nya, tidak mencintai dan menerima-Nya. Hati yang selalu bersama syahwat dan kelezatannya, sekalipun hal itu mengandung kemurkaan dan kebencian Allah l.
Apabila telah melampiaskan diri dengan syahwat dan segala keinginannya, dia tidak peduli apakah Allah l ridha atau murka. Hati ini berada dalam ketundukan kepada selain Allah l. Demikian pula cinta, rasa takut, harap, senang, benci, pengagungan, dan penghambaan dirinya. Jika mencintai sesuatu, dia mencintainya karena hawa nafsunya. Jika marah, dia marah juga karena hawa nafsu. Jika memberi, dia pun memberi karena hawa nafsu. Demikian pula jika dia tidak memberi, karena hawa nafsu. Hawa nafsulah yang lebih mendominasinya. Hawa nafsu lebih dia cintai daripada kecintaan Allah l. Hawa nafsu pun menjadi pemimpinnya, syahwat menjadi pemandunya, kebodohan menjadi pengemudinya, dan kelalaian menjadi kendaraannya.” (Lihat Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsatul Lahafan hlm. 33—37)
Hidayah dari Allah l akan membedakan ketiga sifat hati tersebut dan akan tampak jelas pemilik-pemiliknya.
Agung dan Mahalnya Hidayah
Dari penjelasan di atas, tampak betapa agungnya hidayah yang diberikan oleh Allah l kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Apakah setelah hidayah yang agung dan besar ini Anda akan mau menukarnya dengan dunia? Apakah Anda akan mau menukarnya dengan kedudukan? Apakah Anda mau menukarnya dengan wanita? Apakah Anda mau menukarnya dengan harta kekayaan?
Tentu, orang yang beriman mengetahui bahwa harga hidayah itu adalah surga dan melihat Allah l. Dia tidak akan mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan, jika darah atau nyawa harus dikorbankan untuk mempertahankannya, dia akan memberikannya. Prinsip hidupnya, keselamatan agama dan diri tidak akan bisa ditukar oleh apa pun.
Lalu bagaimana dengan mahalnya?
Pembaca yang budiman ….
Kita mengetahui bahwa hidayah taufik hanya milik Allah l semata. Allah l akan memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Jika demikian keadaannya, maka tidak ada seorang pun yang akan bisa membeli hidayah, dengan harga berapa pun; atau memaksakan kehendak kepada Allah l agar dia mendapatkannya, walaupun dia adalah orang yang terkaya sejagat, keturunan bangsawan, keturunan raja, atau bahkan keturunan Rasulullah n.
Beliau n telah diperintah oleh Allah l:
“Dan berikanlah peringatan kepada karib kerabatmu terdekat.” (asy-Syu’ara: 214)
Itulah kehendak yang dimiliki oleh Allah l. Tidak ada ikatan, kaitan, atau campur tangan dari keinginan hamba-Nya. Allah l tidak memberinya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah l pun memberinya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Kita mengenal golongan kaum budak dan kaum fakir miskin seperti keluarga Ammar bin Yasir, Bilal bin Rabah, dan sebagainya. Kepada merekalah Allah l memberikan hidayah-Nya. Di sisi lain, Allah l tidak memberikannya kepada keluarga dekat Rasulullah n.
Menjemput Hidayah
Sekali lagi, hidayah taufik hanya milik Allah l semata. Dia menganugerahkannya kepada seseorang sebagai karunia dan rahmat-Nya. Dia tidak memberikannya kepada hamba-Nya yang lain, ini adalah sebuah keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapatkannya dan siapa yang tidak.
“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)
Termasuk hikmah-Nya, Allah l mengikat antara sebab dan akibat. Allah l tidak memberitahukan tentang sebuah sebab melainkan Dia telah menjelaskan serta memberitahukan bahwa di antara sebab-sebab itu ada yang disyariatkan dan ada pula yang diharamkan-Nya. Termasuk juga sebab-sebab mendapatkan hidayah. Di antaranya adalah:
1. Beriman kepada Allah l dengan keimanan yang benar, sebagaimana keimanan pendahulu kita yang saleh.
Allah l berfirman:
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 137)
2. Membaca Al-Qur’an, mendalaminya, dan mengamalkan kandungannya, karena salah satu dari hikmah diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia.
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (al-Baqarah: 2)
3. Berdoa dan memintanya kepada Allah l, sebagaimana diperintahkan dalam surat al-Fatihah.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
4. Menaati Rasulullah n dalam semua aspek kehidupan.
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
5. Bersemangat mengkaji ilmu agama.
Rasulullah n bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa Allah l kehendaki baginya kebaikan, niscaya Dia menjadikannya faqih dalam agama.” (HR. al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Wallahu a’lam.

Hidayah adalah Anugerah Terbaik

Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifa’i)

Rasulullah n bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثاَمِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa mengajak kepada hidayah maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”
Al-Imam al-Albani berkata tentang hadits ini dalam as-Silsilah ash-Shahihah (2/548), “Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (8/62), Abu Dawud (2/262), at-Tirmidzi (2/112), ad-Darimi (1/126—127), Ibnu Majah (1/91), dan Ahmad (2/397) dari hadits Abu Hurairah z, secara marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah n). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Makna Hidayah
Lafadz al-huda serta pecahan katanya dalam Al-Qur’an disepakati oleh ulama sebagai kata yang paling banyak bentuk maknanya. Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi dalam kitab al-Asybah wan Nazhair, Yahya bin Sallam dalam kitab at-Tasharif, dan as-Suyuthi dalam kitab al-Itqan, menyebutkan tujuh belas makna lafadz al-huda. Adapun Ibnul Jauzi di dalam kitab Nuzahatul A’yun menyebutkan 24 makna lafadz al-huda.
Al-Fairuz Abadi menjelaskan bahwa hidayah yang diberikan Allah l untuk manusia ada empat tingkatan.
1. Hidayah yang diberikan oleh Allah l kepada seluruh makhluk mukallaf (jin dan manusia), seperti akal, kecerdasan, dan pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat dharuri (sebuah kemestian). Ini sebagaimana firman Allah l:
Musa berkata, “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)
2. Hidayah yang dibawa dan diemban para nabi untuk dijelaskan kepada manusia dan jin, sebagaimana firman Allah l:
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (al-Anbiya: 73)
3. Hidayah berupa taufik untuk tunduk dan mengikuti kebenaran. Hidayah ini dikhususkan bagi hamba yang beriman dan menerima syariat Allah l. Sebagaimana firman Allah l:
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (at-Taghabun: 11)
4. Hidayah untuk masuk ke dalam surga pada hari kiamat nanti. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah l:
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini.” (al-A’raf: 43)
Keempat tingkatan hidayah ini bertahap sifatnya. Seorang hamba yang belum mencapai tingkatan kedua tidak akan mendapatkan hidayah tingkatan yang ketiga. Untuk mencapai tingkatan hidayah keempat, ia harus melalui tingkatan yang ketiga. (Basha’ir, 5/313)
Syarah Hadits
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan hadits ini, “Hadits ini dan yang semisalnya mengandung anjuran untuk menyeru kepada hidayah dan kebaikan, keutamaan seorang dai, peringatan dari perbuatan menyeru kepada kesesatan dan penyimpangan, serta besarnya dosa dan akibat yang akan ditanggungnya.”
Hidayah adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Setiap orang yang mengajarkan satu bentuk ilmu atau mengarahkan para penuntut ilmu untuk menempuh jalan dalam memperoleh ilmu, dia adalah seorang dai kepada hidayah. Setiap orang yang mengajak kepada amalan saleh yang terkait dengan hak Allah l atau hak makhluk, baik secara umum maupun khusus, dia adalah seorang dai kepada hidayah. Setiap orang yang menyampaikan nasihat agama maupun dunia yang akan mendatangkan manfaat secara din (agama), dia adalah seorang dai kepada hidayah. Setiap orang yang mendapatkan hidayah dalam hal ilmu dan amal lalu dia diikuti oleh orang lain, dia adalah dai kepada hidayah. Setiap orang yang membantu orang lain melakukan amalan kebaikan atau kegiatan yang manfaatnya dirasakan secara umum, dia pun termasuk dalam nash hadits ini. Adapun yang berlawanan dengan semua hal di atas maka dia adalah dai kepada kesesatan.
Para penyeru kepada hidayah adalah pemimpin kaum yang bertakwa dan kaum mukminin pilihan. Adapun para penyeru kesesatan adalah orang-orang yang mengajak kepada neraka.
Setiap orang yang membantu orang lain dalam amalan kebaikan dan takwa, dia termasuk dai kepada hidayah. Adapun orang yang membantu orang lain dalam perbuatan dosa dan permusuhan, dia tergolong penyeru kepada kesesatan. (Bahjatul Qulub, hlm. 36—37)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “mengajak kepada hidayah” artinya menjelaskan hidayah dan mengajak orang lain kepadanya. Misalnya, ia menjelaskan kepada orang lain bahwa dua rakaat shalat dhuha hukumnya sunnah dan seyogianya seorang muslim mengerjakannya. Kemudian penjelasannya ini diikuti oleh orang lain sehingga mereka pun mengerjakan shalat dhuha. Maka dari itu, ia akan mendapatkan pahala mereka tanpa mengurangi sedikitpun pahala milik mereka, karena keutamaan yang diberikan oleh Allah l amat luas.
Contoh lain misalnya, ia menyampaikan kepada orang lain, “Hendaknya kalian menjadikan witir sebagai akhir shalat di malam hari. Janganlah kalian tidur melainkan telah mengerjakan witir. Akan tetapi, barang siapa ingin sekali mengerjakannya pada akhir malam, hendaknya ia mengerjakannya pada akhir malam.” Lantas ia diikuti oleh orang lain dalam hal ini, ia memperoleh pahala mereka. Artinya, setiap orang yang diberi hidayah oleh Allah l untuk mengerjakan witir melalui sebabnya, ia akan memperoleh pahalanya. Demikian juga halnya amalan saleh yang lain.
Keterangan Ulama tentang Hidayah
Ibnul Qayyim t menjelaskan bahwa hidayah dimulai dengan keterangan dan penjelasan, setelah itu taufik dan ilham. Hal ini setelah adanya keterangan dan penjelasan. Tidak ada jalan untuk mencapai tahap keterangan dan penjelasan kecuali melalui para rasul. Apabila tahap keterangan dan penjelasan telah tercapai, hidayah taufik bisa terwujud. (Fathul Bari 1/211)
Ibnul Jauzi t berkata, “Demi Allah, pendidikan orang tua tidak akan bermanfaat jika tidak didahului oleh pilihan Allah l terhadap anak tersebut. Sesungguhnya, jika Allah l memilih seorang hamba maka Allah l akan menjaganya semenjak ia kecil. Allah l juga memberinya hidayah menuju jalan kebenaran serta membimbingnya ke arah yang lurus. Allah l akan membuatnya menyenangi hal-hal yang baik dan akan menjadikan dirinya membenci hal-hal yang buruk.” (Shaidul Khathir hlm. 299)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Setiap hamba benar-benar sangat membutuhkan kontinuitas hidayah Allah l kepada dirinya ke jalan yang lurus. Sebagai hamba, ia sangat membutuhkan maksud dari doa ini, karena tidak ada jalan keselamatan dari azab dan tidak ada jalan untuk mencapai kebahagiaan melainkan dengan hidayah ini. Hidayah ini pun tidak mungkin terwujud melainkan dengan petunjuk dari Allah l.” (al-Fatawa, 14/37)
Ibnul Qayyim t berkata, “Hidayah akan mendatangkan hidayah berikutnya sebagaimana kesesatan akan mendatangkan kesesatan lainnya. Amalan-amalan kebaikan akan membuahkan hidayah. Semakin bertambah amalan kebaikan seseorang, hidayah pun akan bertambah. Sebaliknya, amalan-amalan kejelekan pun akan membuahkan kesesatan. Hal ini karena Allah l mencintai amalan-amalan kebaikan sehingga Dia membalasnya dengan hidayah dan kemenangan, dan Allah l membenci amalan-amalan kejelekan sehingga membalasnya dengan kesesatan dan kecelakaan.” (Tanwir al-Hawalik, 1/338)
Ibnul Qayyim t juga berkata, “Jika seorang hamba beriman kepada Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman hidayah secara umum, ia menerima perintah-perintah di dalamnya dan membenarkan berita-beritanya. Hal ini akan menjadi sebab baginya meraih hidayah lain dengan lebih terperinci lagi, karena hidayah itu tidak ada ujungnya meskipun seorang hamba telah mencapai tingkat hidayah setinggi-tingginya.
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (Maryam: 76) (Tanwir al-Hawalik 1/177)
Mahalnya Nilai Hidayah
Di antara rangkaian peristiwa perang Ahzab yang tersebut dalam riwayat-riwayat yang sahih adalah keikutsertaan Rasulullah n dalam penggalian dan pembuatan parit sebagai benteng kokoh kota Madinah dari serangan musuh-musuh Allah l. Bersama para sahabat, secara aktif beliau n terlibat langsung menggali, memindahkan, atau mengangkat batu. Dalam suasana yang penuh berkah tersebut, kebersamaan iman, dan ukhuwah, Rasulullah n mengingatkan para sahabat akan sebuah nikmat agung. Nikmat terbesar pemberian Allah l untuk hamba-Nya, yaitu hidayah. Terucapkan dengan bentuk bait-bait syair:
Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, tidak mungkin kami mendapatkan hidayah
Tidak mungkin pula kami bersedekah dan melaksanakan shalat
Maka turunkanlah ketenangan untuk kami
Dan kokohkanlah kaki-kaki kami saat bertemu musuh
Sesungguhnya mereka telah berbuat melampaui batas terhadap kami
Dan jika mereka memaksakan fitnah, kami tentu akan menolaknya
Dalam surat-surat yang dikirim oleh Rasulullah n kepada para raja dan pembesar beberapa negeri—sebagai bukti semangat Nabi Muhammad n mengajak manusia kepada hidayah—disebutkan di permulaan surat tentang tingginya nilai hidayah. Di antaranya adalah surat yang ditujukan kepada Heraklius. Mua’wiyah bin Abi Sufyan c meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersurat:
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah l dan Rasul-Nya kepada Heraklius penguasa Romawi, keselamatan hanyalah untuk yang mengikuti hidayah.” (HR. al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 1773)
Hal ini tidak lain karena jalan keselamatan hanya satu, tidak berbilang. Hidayah adalah nikmat terbesar, nikmat yang paling agung. Oleh karena itu, Nabi Muhammad n ingin menyampaikan hidayah kepada setiap makhluk.
Di masa hidup Rasulullah n, sebagian orang-orang Yahudi berusaha agar bisa bersin di dekat Rasulullah n karena mereka berharap Rasulullah n akan mendoakan mereka, “Semoga Allah l merahmatimu.” Namun, Rasulullah n justru mendoakan mereka, “Semoga Allah l memberikan hidayah untuk kalian dan memperbaiki keadaan kalian.”
Tentang hal ini, al-Imam Abu Dawud t meriwayatkan sebuah hadits melalui riwayat Abu Musa al-Asy’ari z. Beliau z bercerita:

كَانَ الْيَهُودُ يَتَعَاطَسُونَ عِنْدَ النَّبِيِّ n يَرْجُونَ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ: يَرْحَمُكُمُ اللهُ؛ فَيَقُولُ: يَهْدِيكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ

“Dahulu orang-orang Yahudi berusaha keras untuk dapat bersin di dekat Nabi Muhammad karena berharap beliau mendoakan mereka, ‘Semoga Allah l merahmati kalian.’ Akan tetapi, Nabi Muhammad justru mendoakan, ‘Semoga Allah l memberikan hidayah untuk kalian dan memperbaiki keadaan kalian’.”
Disebutkan dalam syarah hadits ini, orang-orang Yahudi berusaha agar mereka bisa bersin di dekat Nabi Muhammad n karena mereka berharap beliau n mendoakan rahmat bagi mereka. Namun, karena rahmat Allah l hanyalah khusus bagi kaum mukminin, Rasulullah n mendoakan agar keadaan mereka menjadi lebih baik dengan memperoleh hidayah, taufik, dan iman. (Tuhfatul Ahwadzi dalam syarah hadits ini)
Hidayah adalah milik Allah l dan di tangan Allah l. Hanya hamba yang terpilih yang beruntung mendapatkannya. Ada di antara hamba yang mengharap hidayah dan Allah l mengaruniakannya kepadanya. Ada pula di antara hamba yang mengharapkan hidayah namun Allah l tidak memberinya karena keadilan dan ilmu Allah l tentang kejujuran serta kebenaran harapannya. Di antara hamba juga ada yang telah merasakan lezatnya hidayah namun ia tidak menjaganya. Akhirnya, hidayah pun terlepas dari dirinya. Ada juga di antara mereka yang pernah menikmati hidayah kemudian terlepas. Karena rahmat Allah l semata, hidayah itu kembali kepadanya. Bertaubat dan istighfar (memohon ampun) merupakan jalan terbaik. Banyak hamba yang akhirnya menangis bahagia dengan bertaubat atas dosa-dosa. Ia kembali bersimpuh sebagai tanda ketundukannya di hadapan Allah l. Ia merasakan kesenangan tiada tara seakan-akan terlahir kembali. Seolah-olah ia hidup setelah kematian yang panjang.
Bersabar Menyerukan Hidayah
Sifat sabar mutlak harus dimiliki oleh seseorang yang hendak menyerukan dan menyampaikan hidayah. Tentu tantangan dan ujian akan datang silih berganti. Maksud hati menginginkan hidayah bagi orang yang kita cintai namun justru dibalas dengan penentangan dan permusuhan. Adalah sunnatulah, setiap seruan kepada hidayah kebaikan akan dihadang dengan pengingkaran dan penentangan. Maka dari itu, kesabaran harus menjadi bekal utama seorang dai.
Seorang dai yang menyerukan hidayah tugasnya hanya menyampaikan. Adapun hidayah dan taufik sepenuhnya kembali kepada kehendak Allah l. Para nabi dan rasul adalah suriteladan bagi setiap penyeru hidayah. Rasulullah n pernah menggambarkan keadaan para nabi pada hari kiamat nanti. Ada seorang nabi yang datang membawa puluhan pengikut. Ada nabi yang datang hanya dengan dua orang pengikut. Ada pula nabi yang hanya datang dengan seorang pengikut. Bahkan, ada seorang nabi yang datang pada hari kiamat nanti tanpa seorang pengikut pun.
Nabi Ibrahim q tidak dapat mengajak ayahnya untuk menerima hidayah. Nabi Nuh q tidak mampu mengarahkan anaknya ke jalan yang lurus. Nabi Luth q dimusuhi oleh istrinya sendiri. Nabi Muhammad n yang telah berusaha sekuat tenaga agar pamannya Abu Thalib mau menerimah hidayah akhirnya pun harus menerima kenyataan bahwa pamannya meninggal di atas kekafiran.
Sungguh di antara firman Allah l yang harus selalu diingat oleh seorang penyeru hidayah adalah:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (al-Qashash: 56)
Seorang dai yang mengajak kepada hidayah tidak boleh berkecil hati ataupun bersedih. Allah l tidak akan menyia-nyiakan pahala hamba-Nya. Allah l akan meninggikan derajatnya dan mempersiapkan pahala yang terbaik baginya. Ia harus berprasangka baik kepada Allah l. Barangkali hari ini orang lain menentang dan memusuhinya, mungkin setelahnya orang tersebut akan menjadi teman dan penolongnya. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar c bahwa Rasulullah n pernah mendoakan kejelekan untuk empat orang. Kemudian Allah l pun menurunkan firman-Nya:
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah l menerima taubat mereka atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali Imran: 128)
Lalu Allah l memberikan hidayah kepada mereka. (HR. Ahmad 2/104)
Khatimah
Harapan tentu bukanlah hanya sekadar harapan. Setiap harapan memiliki sebuah konsekuensi: usaha meraihnya. Harapan agar Allah l senantiasa mencurahkan hidayah kepada kita di dunia dan di akhirat adalah harapan besar. Karena hidayah adalah sesuatu yang sangat mahal, tentu kita akan selalu berusaha agar hidayah itu tidak terlepas dari diri kita dan tidak lepas pula dari orang-orang yang kita cintai. Maka dari itu, selalu bersyukur dengan menyerahkan hidup dan mati kita hanya untuk Allah l dalam bingkai ibadah dan amal saleh, adalah langkah terbaik.
Demikian juga doa. Doa sangat bermanfaat sebagai senjata seorang mukmin. Tentang hal ini, al-Imam Abu Dawud t meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Rafi’ bin Sinan z. Ketika beliau masuk Islam, istrinya menolak untuk masuk Islam. Istrinya lantas menemui Nabi n dan berkata, “Anak itu adalah putriku.” Sementara Rafi’ berkata, “Anak itu adalah putriku.” Kemudian Nabi n bersabda kepada Rafi’, “Duduklah di ujung sana.” Demikian pula Nabi n berkata kepada istri Rafi’, “Duduklah di ujung sana.” Kemudian Nabi n memerintahkan putri mereka duduk di antara keduanya. Setelah itu Nabi n bersabda, “Panggillah putri kalian.” Ternyata anak itu lebih memilih ibunya. Lalu Nabi n berdoa, “Ya Allah, berikanlah hidayah kepadanya.” Kemudian anak itu pun memilih ayahnya. Lantas Rafi’ pun membawanya pergi. Hadits ini disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (2/422).
Akhirnya, banyaklah memohon hidayah. Dari Abdullah bin Umar c, Rasulullah n sering membaca doa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon selalu dari-Mu hidayah, takwa, sikap ‘iffah, dan kekayaan.” (HR. Muslim no. 4898)
Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.