Ditulis oleh: Al-Ustadz
Abu Nasim Mukhtar
Seorang hamba,
siapapun dia, pasti membutuhkan orang lain sebagai kawan hidupnya. Karena
manusia diciptakan sebagai makhluk lemah yang sangat bergantung dengan bantuan
sesama.
Semenjak pertama kali
ia terlahir dan menghirup nafas di dunia, lalu tumbuh berkembang menuju
kedewasaan hingga jasadnya terbujur kaku di liang kubur, seluruh proses
kehidupan itu mesti dijalaninya bersama orang lain.
Yang harus
diperhatikan, kebahagiaan seorang hamba di dunia maupun di akhirat sangat erat
kaitannya dengan teman dekatnya. Berdasarkan apakah hal ini diungkapkan?
Benarkah baik buruknya amalan kita dapat dipengaruhi oleh teman dekat? Insya
Allah sekelumit penjelasan berikut ini akan mencoba menjawabnya. Dalam
sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ
خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung
agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman
dekatnya.”
Hadits ini
diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu melalui
dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad (2/303, 334) Abu Dawud (no. 4812),
At-Tirmidzi (no. 2484), Al-Hakim (4/171), Ath-Thayalisi (no. 2107), Al-Qudha’i
(dalam Al-Musnad no. 187).
Asy-Syaikh Al-Albani
berkata dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/633), “Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud (2/293, At-Taziyah), At-Tirmidzi (2/278, Syarah At-Tuhfah), Al-Hakim
(4/171), Ahmad (2/303, 334), Al-Khatib (4/115), dan ‘Abdu bin Humaid dalam
Al-Muntakhab minal Musnad (1/154); dari jalan Zuhair bin Muhammad Al-Khurasani,
ia berkata: ‘Musa bin Wardan telah menyampaikan hadits kepada kami dari Abu
Hurairah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Seseorang tergantung agama temannya maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah
temannya’.”
At-Tirmidzi berkata,
“Hadits ini hasan gharib.” Adapun Al-Hakim, beliau diam. Sikap beliau ini
tepat sekali. Karena Zuhair dalam sanad ini adalah seorang perawi yang ada
kelemahannya. Al-Hafizh menjelaskan bahwa riwayat penduduk Syam darinya adalah
riwayat yang tidak kuat, karena itulah ia dilemahkan.
Al-Bukhari berkata
menukil dari Ahmad, “Sepertinya Zuhair yang diriwayatkan oleh penduduk Syam
adalah Zuhair yang lain.”
Abu Hatim berkata, “Ia meriwayatkan hadits dari hafalannya ketika berada di
Syam, oleh karena itu banyak terjadi kesalahan.”
Akan tetapi hadits ini
memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad Al-Anshari,
dari Sa’id bin Yasar, dari Abu Hurairah, dengan hadits yang sama. Jalan ini
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Al-Majlis Ats-Tsalits wal Khamsiin minal
Amali (2/2). Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih, insya Allah.” Pendapat
beliau disetujui oleh Adz-Dzahabi, meski hal ini sangat aneh, karena beliau
(Adz-Dzahabi) menilai Ibrahim dalam kitabnya Adh-Dhu’afa’ dengan mengatakan,
“Ia (Ibrahim bin Muhammad Al-Anshari, red.) memiliki beberapa hal yang
mungkar.” Kemudian di akhir pembahasan, Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits
ini memang lemah namun tidak terlalu lemah sekali sehingga dapat diberikan
syahid (penguat). Oleh karena itu, hadits ini adalah hadits hasan. Wallahu
a’lam.”
Pengaruh orang dekat
Saudaraku… Pengaruh
orang dekat sangat kuat dalam membentuk perilaku, tabiat, dan sifat seseorang.
Lebih-lebih lagi bila orang dekat tersebut telah menjadi figur dan
kepercayaannya. Tentu akan menjadi sebuah kelaziman baginya untuk mengikuti,
meniru, mencontoh, bahkan membela orang dekat itu.
Orangtua misalnya,
adalah orang yang paling dekat dengan kita. Orangtua mendapat tanggung jawab
untuk membentuk sifat serta karakter anaknya menjadi keturunan yang shalih dan
shalihah. Sehingga baik buruknya seorang anak sangat erat hubungannya dengan
pendidikan yang diberikan orangtuanya. Apakah ia akan menjadi seorang muslim
yang baik, ataukah menjadi pengikut agama Yahudi dan Nasrani, atau tidak
mengenal agama sama sekali, karena pada umumnya seorang anak sangat terpengaruh
dengan orangtua sebagai orang dekatnya. Bukankah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari
no. 1384 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah)
Contoh lain dalam
Islam yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk memerhatikan dan berusaha
dengan langkah terbaik di dalam memilih orang dekat adalah dalam proses memilih
seorang wanita untuk menjadi istri dan pasangan hidupnya. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut
kebiasaan) dinikahi karena empat hal: Bisa jadi karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu
wanita yang memiliki agama. Karena bila tidak, engkau akan celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620)
Bisa dibayangkan
betapa indah kehidupan rumah tangga yang diatur dan ditata dengan bantuan
seorang istri yang shalihah. Telah banyak kejadian nyata di mana seorang suami
beroleh hidayah dan kebaikan disebabkan istri yang shalihah. Sulit untuk
dibayangkan bagaimana sempit dan menderitanya rumah tangga yang diatur dan
dijalankan oleh seorang istri yang jahat. Banyak cerita nyata tentang
tersesatnya seorang suami dari jalan kebenaran disebabkan istrinya sebagai
orang terdekat. ‘Iyadzan billah (Kita meminta perlindungan kepada Allah).
Dengan demikian, pesan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas
hendaknya selalu menjadi sebuah pertimbangan ketika hendak memilih seseorang
untuk menjadi orang dekatnya, entah sebagai istri, suami, tetangga, guru, atau
teman bekerja. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Hendaknya kalian menilai
orang dengan teman dekatnya. Karena seorang muslim akan mengikuti orang yang
muslim, sementara orang jahat akan mengikuti orang yang jahat pula.” (Al-Mu’jam
Al-Kabir no. 8919, Al-Ibanah 502)
Abdullah bin Mas’ud
berkata, “Orang yang dapat berjalan bersama dan berteman adalah orang
yang disuka dan yang sejenis.” (Al-Ibanah, 499)
Abud Darda’
berkata, “Di antara bentuk kecerdasan seseorang adalah selektif dalam
memilih teman berjalan, teman bersama, dan teman duduknya.” (Al-Ibanah, 379)
Akibat buruk dari
salah memilih teman
Saudaraku… perlu
diketahui bahwa di antara sumber kejahatan adalah dekat dengan pelaku maksiat,
bid’ah, dan hizbiyyah (yang fanatik buta dengan kelompoknya, red.). Pada
beberapa ayat dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhati-hati dari
para pengikut hawa nafsu, tidak menjadikan mereka sebagai teman dan berusaha
untuk menghindar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 49)
Allah subhanahu wa
ta’ala juga berfirman:
“Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu
sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah
pelindung orang-orang yang bertakwa.” (Al-Jatsiyah: 18-19)
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman dalam ayat lain:
“Dan sesungguhnya
mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar
kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu
tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak
memperkuat (hati)mu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.
Kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan)
berlipat-ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat-ganda sesudah
mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra’: 73-75)
Dari beberapa ayat di
atas dapat disimpulkan bahwa berdekatan dan berkawan dengan pelaku maksiat,
bid’ah dan hizbiyyah merupakan sebuah ujian yang sangat besar. Apabila Allah subhanahu
wa ta’ala melarang dan memperingatkan Nabi Muhammad dari orang-orang
semacam mereka, maka tentunya kita lebih pantas untuk lebih berhati-hati.
Berdekatan dan berkawan dengan mereka hanyalah akan menjadi sebab penyimpangan
dan kesesatan, kecuali Allah subhanahu wa ta’alamenghendaki
lain. Dalam hal ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari:
إِنَّمَا مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ، كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ
الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإمَّا أَنْ تَبْتَاعَ
مِنْهُ وَإمَّا أنْ تَجِدَ مِنْهُ ريحاً طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إمَّا أَنْ
يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحاً مُنْتِنَةً
“Sesungguhnya teman
baik dan teman yang buruk itu diibaratkan dengan penjual minyak wangi dan
pandai besi. Penjual minyak wangi dapat memberikan wewangian untukmu, engkau
membelinya, atau engkau mendapatkan aroma wangi darinya. Adapun pandai besi
bisa jadi membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan aroma yang tidak sedap
darinya.”
Al-Imam Ibnu Baththal
menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan bermajelis dengan orang yang
mendatangkan gangguan, seperti orang yang berbuat ghibah atau membela
kebatilan. Hadits ini juga menunjukkan perintah untuk bermajelis dengan orang
yang dapat mendatangkan kebaikan, seperti dzikir kepada Allah subhanahu wa
ta’ala mempelajari ilmu, dan seluruh perbuatan baik lainnya. (Syarah
Ibnu Baththal)
Lalu perhatikanlah
akibat buruk saat hari kiamat nanti karena salah dalam memilih teman. Pada hari
kiamat, setiap orang yang zalim akan menggigit dua tangannya penuh sesal,
kecewa, sedih, dan merugi karena kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan, serta dosa
yang ia lakukan. Ia berandai-andai, “Aduhai kiranya dahulu aku mengambil jalan
keimanan bersama Rasul, mengikuti dan membenarkan risalahnya.” Ia menyesali perbuatannya
karena telah menjadikan si fulan sebagai teman akrabnya, baik dari kalangan
manusia atau jin.
Padahal teman akrabnya tersebut adalah orang yang jahat dan
buruk. Teman akrab yang tidak akan mendatangkan kecuali kehinaan dan
kebinasaan. Teman akrab yang selalu menjadikan dosa dan maksiat sebagai sesuatu
yang indah dan baik. Maka, hendaknya setiap hamba berhati-hati di dalam memilih
teman akrabnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat
Al-Furqan:
Dan (ingatlah) hari
(ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai
kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan
besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman
akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika
Al-Qur’an telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak akan menolong manusia. (Al-Furqan: 27-29)
Tidak bergaul dengan
ahlul bid’ah dan pelaku maksiat
Kemudian, di antara
prinsip dasar akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah tidak bermajelis dengan
pelaku bid’ah, tidak menjadikan mereka sebagai teman dekat, atau berkumpul
dengan mereka. Di dalam kitab-kitab i’tiqad (akidah) Ahlus Sunnah, hal ini
selalu disebutkan dan tidak terlewatkan. Banyak sekali nasihat ulama dalam hal
ini. Di antaranya adalah ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak seyogianya
bagi siapapun untuk bermajelis, bercampur, dan merasa dekat dengan ahlul
bid’ah.” (Al-Ibanah, 490)
Habib bin Abi
Az-Zibriqan berkata, “Dahulu jika Muhammad bin Sirin t mendengarkan satu kata
dari seorang pelaku bid’ah, dia akan menutup kedua telinganya dengan jari.
Kemudian beliau berkata, ‘Tidak halal bagiku untuk berbicara dengannya hingga
ia bangkit dari tempatnya’.” (Al-Ibanah, 484)
Al-Imam Ahmad bin
Hanbal berkata, “Janganlah engkau meminta saran kepada pelaku bid’ah dalam
masalah agama, dan janganlah meminta pelaku bid’ah untuk menjadi teman dalam
safarmu.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3/578)
Al-Fudhail bin ‘Iyadh
berkata, “Tidak akan mungkin seseorang yang mencintai As-Sunnah dapat berteman
dengan orang yang senang bid’ah, kecuali jika terdapat kenifakan.” (Ar-Radd
‘alal Mubtadi’ah no.1629)
Ibnu Taimiyah
berkata, “Barangsiapa berprasangka baik dengan mereka (ahlul bid’ah) dan
mengaku tidak mengetahui keadaan mereka, maka ia harus diberi pengertian tentang
keadaan mereka. Jika setelah itu ia tidak dapat berpisah dengan mereka serta
tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka, maka ia dinilai sama seperti
mereka dan dijadikan sebagai bagian dari mereka.” (Al-Majmu’, 2/133)
Ibnul Jauzi
berkata, “Perampok jalanan ada empat: seorang mulhid (atheis/penyeleweng)
yang memunculkan keraguanmu terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala,
seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) yang menjauhkan dirimu dari Sunnah Rasulullah n,
seorang pelaku maksiat yang mendukungmu berbuat maksiat, dan seorang yang lalai
sehingga membuatmu lupa untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
(At-Tadzkirah, hal. 183)
Dari beberapa nasihat
ulama di atas, dapat diambil sebuah keyakinan bahwa Islam melarang untuk
bergaul dan berdekatan dengan orang-orang yang buruk serta menuntunkan untuk
menghindari mereka sejauh mungkin. Hal ini disebabkan adanya pengaruh besar
dari para pelaku bid’ah yang akan merusak akidah dan agama seseorang.
Memilih kawan yang
jujur
Setiap muslim wajib
untuk bergaul dan berkawan dengan orang baik. Jika ia jahil, maka kawannya yang
akan menyampaikan ilmu, jika ia lupa maka kawannya yang akan mengingatkan, dan
jika ia berbuat salah maka kawannya yang akan membimbingnya kepada kebenaran.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu
bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Al Kahfi: 28)
As-Sa’di berkata
dalam tafsir ayat ini, “Di dalam ayat ini terkandung perintah untuk berteman
dengan orang-orang baik serta menundukkan jiwa agar dapat berteman dan bergaul
dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang fakir. Karena bergaul dengan
mereka akan mendatangkan manfaat yang tiada terbilang.”
Qatadah bin Di’amah
As-Sadusi berkata, “Demi Allah, tidaklah kami menyaksikan seseorang berteman
kecuali dengan yang sejenis dan setipe. Oleh karena itu, bertemanlah kalian
dengan hamba-hamba Allah l yang shalih agar kalian dapat bersama dengan mereka
atau semisal dengan mereka.” (Al-Ibanah, 511)
Oleh karena itu,
pembaca… Hendaknya kita benar-benar teliti dan selektif dalam memilih seseorang
sebagai teman apalagi teman dekat. Karena kedekatan kepada seseorang akan
menumbuhkan cinta, padahal Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah
meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud tentang kedatangan salah seorang
sahabat untuk menemui Rasulullah n dan bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimanakah
tanggapan anda tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan belum pernah
bertemu dengan mereka?” Maka Rasulullah n menjawab, “Setiap orang akan bersama
dengan orang yang ia cintai.” Artinya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat
nanti bersama orang yang ia cintai. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang
yang dibangkitkan bersama Rasulullah n dan yang mencintai beliau. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang
menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)
Menjaga persahabatan
dengan cinta
Jika Allah subhanahu
wa ta’ala menghendaki kebaikan dari seorang hamba maka Allah subhanahu
wa ta’ala akan memberikan taufiq kepadanya untuk bergaul dengan
orang-orang baik yang mencintai As-Sunnah dan agama Islam. Allah subhanahu
wa ta’ala akan menjauhkan dirinya dari orang-orang jahat dari kalangan
ahlul bid’ah dan pelaku maksiat lainnya.
Maka dari itu, seorang
muslim harus memanfaatkan nikmat ini dengan sebaik-baiknya dengan memerhatikan
adab-adab di dalam berteman. Sebuah kaidah penting yang mesti diperhatikan di
dalam bergaul dengan sesama Ahlus Sunnah adalah menyadari dan selalu mengingat
bahwa setiap manusia tidak mungkin terlepas dari kesalahan dan kekurangan.
Demikian pula sikap seorang muslim di dalam berteman. Kemudian yang harus
diingat juga adalah setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan.
Karena itu, jika seorang muslim melihat kekurangan saudaranya hendaknya ia
mengingat kelebihan yang dimilikinya. Al-Imam Ibnu Mazin berkata, “Seorang
mukmin selalu mencari udzur untuk saudaranya, sementara orang munafik selalu
mencari kesalahan temannya.”
Al-Imam Hamdun
Al-Qassar berkata, “Jika saudaramu terjatuh dalam sebuah kesalahan maka
berikanlah untuknya 90 udzur. Apabila tetap tidak dapat, maka dirimulah yang
lebih patut untuk dicela.” (Adabul ‘Isyrah, 13)
Al-Imam Ibnul A’rabi [1] berkata,
“Berusahalah untuk selalu melupakan kesalahan yang diperbuat saudaramu, pasti
rasa cinta di antara kalian akan terjaga.” (Adabul ‘Isyrah, 14)
Maka hendaknya sesama
Ahlus Sunnah dapat mewujudkan ayat dan hadits-hadits Rasulullah n yang
menggambarkan kekuatan dan kebersamaan di antara mereka, seperti satu tubuh
yang satu sama lain saling merasakan. Sebagaimana sebuah bangunan yang saling
menguatkan dan saling mengokohkan. Benci dan cinta yang dibangun di atas fondasi
iman dan As-Sunnah, memberi dan tidak memberi hanya karena Allah subhanahu
wa ta’ala, serta bertemu dan berpisah demi meraih ridha Allah
semata. Wallahu a’lam.