Jumat, September 18, 2015

BAHAYA KETENARAN

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz hafizhahullah [Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]
Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu berkata:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ ذُنُوْبِيْ مَا وَطِئَ عَقِبِيْ اثْنَانِ.
“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang.” (Lihat: Siyar A’lamin Nubala’, I/495 –pent)
Ada orang-orang yang terkenal, sebagian mereka ada yang terkenal karena dia seorang qari’ Al-Qur’an, dia terkenal karena bagusnya bacaannya dan karena kemerduan suaranya, sehingga manusia banyak yang mendatanginya. Diantara mereka ada yang merupakan seorang ulama yang dia terkenal karena ilmu, fatwa, wara’ dan kesalehannya, sehingga banyak manusia yang mendatanginya. Diantara mereka ada yang sebagai seorang dai yang dia terkenal karena apa yang dia kerahkan dan dia upayakan untuk manusia, sehingga banyak dari mereka yang mendatanginya disebabkan karena Allah memberi mereka hidayah kepada kebenaran melalui perantaraan dia. Ada juga seseorang yang terkenal karena dia seorang yang menunaikan amanah, ada yang terkenal karena suka melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan seterusnya.
Ketenaran merupakan kedudukan yang sangat rawan untuk menggelincirkan seseorang. Oleh karena inilah Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu mewasiatkan untuk dirinya sendiri yang menjelaskan keadaan beliau dan menjelaskan apa yang wajib untuk dilakukan –katakanlah– oleh siapa saja yang memiliki pengikut, beliau mengatakan:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ ذُنُوْبِيْ مَا وَطِئَ عَقِبِيْ اثْنَانِ وَلَحَثَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِيْ.
“Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku, tidak akan ada orang yang mau berjalan di belakangku (mengikutiku) walaupun cuma dua orang, dan niscaya kalian akan menaburkan debu di kepalaku.”
Wajib atas siapa saja yang memiliki ketenaran atau dia termasuk orang yang menjadi idola manusia, untuk senantiasa menganggap rendah dirinya di tengah-tengah mereka, dan hendaknya dia menampakkan hal itu namun bukan agar dimuliakan oleh mereka. Tetapi dia melakukannya semata-mata agar mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Jalla wa Ala. Dan poros dari hal itu adalah keikhlasan, karena sungguh diantara manusia ada yang terkadang merendahkan dirinya di hadapan manusia agar dia nampak atau menonjol (agar dianggap sebagai orang yang tawadhu’ –pent) diantara mereka. Yang semacam ini termasuk perbuatan syaithan.
Diantara mereka ada yang merendahkan dirinya di tengah-tengah manusia dalam keadaan Allah Jalla wa Ala mengetahui hatinya bahwa dia jujur dalam hal tersebut. Dia melakukannya karena takut perjumpaan dengan Allah Jalla wa Ala, dan dia takut terhadap hari ketika apa yang tersembunyi dalam dada diberi balasan setimpal, dan hari ketika semua yang ada di dalam hati dibongkar. Dan ketika itu tidak ada sedikitpun yang tersembunyi dari ilmu Allah.

Jumat, Agustus 14, 2015

KAWAN YANG TAKKAN MENJADI LAWAN

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

Seorang hamba, siapapun dia, pasti membutuhkan orang lain sebagai kawan hidupnya. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk lemah yang sangat bergantung dengan bantuan sesama.
Semenjak pertama kali ia terlahir dan menghirup nafas di dunia, lalu tumbuh berkembang menuju kedewasaan hingga jasadnya terbujur kaku di liang kubur, seluruh proses kehidupan itu mesti dijalaninya bersama orang lain.

Yang harus diperhatikan, kebahagiaan seorang hamba di dunia maupun di akhirat sangat erat kaitannya dengan teman dekatnya. Berdasarkan apakah hal ini diungkapkan? Benarkah baik buruknya amalan kita dapat dipengaruhi oleh teman dekat? Insya Allah sekelumit penjelasan berikut ini akan mencoba menjawabnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman dekatnya.”
Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu melalui dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad (2/303, 334) Abu Dawud (no. 4812), At-Tirmidzi (no. 2484), Al-Hakim (4/171), Ath-Thayalisi (no. 2107), Al-Qudha’i (dalam Al-Musnad no. 187).

Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/633), “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (2/293, At-Taziyah), At-Tirmidzi (2/278, Syarah At-Tuhfah), Al-Hakim (4/171), Ahmad (2/303, 334), Al-Khatib (4/115), dan ‘Abdu bin Humaid dalam Al-Muntakhab minal Musnad (1/154); dari jalan Zuhair bin Muhammad Al-Khurasani, ia berkata: ‘Musa bin Wardan telah menyampaikan hadits kepada kami dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Seseorang tergantung agama temannya maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah temannya’.”

At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Adapun Al-Hakim, beliau diam. Sikap beliau ini tepat sekali. Karena Zuhair dalam sanad ini adalah seorang perawi yang ada kelemahannya. Al-Hafizh menjelaskan bahwa riwayat penduduk Syam darinya adalah riwayat yang tidak kuat, karena itulah ia dilemahkan.
Al-Bukhari berkata menukil dari Ahmad, “Sepertinya Zuhair yang diriwayatkan oleh penduduk Syam adalah Zuhair yang lain.”

Abu Hatim berkata, “Ia meriwayatkan hadits dari hafalannya ketika berada di Syam, oleh karena itu banyak terjadi kesalahan.”
Akan tetapi hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan oleh Ibrahim bin Muhammad Al-Anshari, dari Sa’id bin Yasar, dari Abu Hurairah, dengan hadits yang sama. Jalan ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam Al-Majlis Ats-Tsalits wal Khamsiin minal Amali (2/2). Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih, insya Allah.” Pendapat beliau disetujui oleh Adz-Dzahabi, meski hal ini sangat aneh, karena beliau (Adz-Dzahabi) menilai Ibrahim dalam kitabnya Adh-Dhu’afa’ dengan mengatakan, “Ia (Ibrahim bin Muhammad Al-Anshari, red.) memiliki beberapa hal yang mungkar.” Kemudian di akhir pembahasan, Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memang lemah namun tidak terlalu lemah sekali sehingga dapat diberikan syahid (penguat). Oleh karena itu, hadits ini adalah hadits hasan. Wallahu a’lam.”

Pengaruh orang dekat

Saudaraku… Pengaruh orang dekat sangat kuat dalam membentuk perilaku, tabiat, dan sifat seseorang. Lebih-lebih lagi bila orang dekat tersebut telah menjadi figur dan kepercayaannya. Tentu akan menjadi sebuah kelaziman baginya untuk mengikuti, meniru, mencontoh, bahkan membela orang dekat itu.
Orangtua misalnya, adalah orang yang paling dekat dengan kita. Orangtua mendapat tanggung jawab untuk membentuk sifat serta karakter anaknya menjadi keturunan yang shalih dan shalihah. Sehingga baik buruknya seorang anak sangat erat hubungannya dengan pendidikan yang diberikan orangtuanya. Apakah ia akan menjadi seorang muslim yang baik, ataukah menjadi pengikut agama Yahudi dan Nasrani, atau tidak mengenal agama sama sekali, karena pada umumnya seorang anak sangat terpengaruh dengan orangtua sebagai orang dekatnya. Bukankah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1384 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah)

Contoh lain dalam Islam yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk memerhatikan dan berusaha dengan langkah terbaik di dalam memilih orang dekat adalah dalam proses memilih seorang wanita untuk menjadi istri dan pasangan hidupnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan) dinikahi karena empat hal: Bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Karena bila tidak, engkau akan celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620)

Bisa dibayangkan betapa indah kehidupan rumah tangga yang diatur dan ditata dengan bantuan seorang istri yang shalihah. Telah banyak kejadian nyata di mana seorang suami beroleh hidayah dan kebaikan disebabkan istri yang shalihah. Sulit untuk dibayangkan bagaimana sempit dan menderitanya rumah tangga yang diatur dan dijalankan oleh seorang istri yang jahat. Banyak cerita nyata tentang tersesatnya seorang suami dari jalan kebenaran disebabkan istrinya sebagai orang terdekat. ‘Iyadzan billah (Kita meminta perlindungan kepada Allah).

Dengan demikian, pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas hendaknya selalu menjadi sebuah pertimbangan ketika hendak memilih seseorang untuk menjadi orang dekatnya, entah sebagai istri, suami, tetangga, guru, atau teman bekerja. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Hendaknya kalian menilai orang dengan teman dekatnya. Karena seorang muslim akan mengikuti orang yang muslim, sementara orang jahat akan mengikuti orang yang jahat pula.” (Al-Mu’jam Al-Kabir no. 8919, Al-Ibanah 502)
Abdullah bin Mas’ud  berkata, “Orang yang dapat berjalan bersama dan berteman adalah orang yang disuka dan yang sejenis.” (Al-Ibanah, 499)
Abud Darda’  berkata, “Di antara bentuk kecerdasan seseorang adalah selektif dalam memilih teman berjalan, teman bersama, dan teman duduknya.” (Al-Ibanah, 379)

Akibat buruk dari salah memilih teman

Saudaraku… perlu diketahui bahwa di antara sumber kejahatan adalah dekat dengan pelaku maksiat, bid’ah, dan hizbiyyah (yang fanatik buta dengan kelompoknya, red.). Pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhati-hati dari para pengikut hawa nafsu, tidak menjadikan mereka sebagai teman dan berusaha untuk menghindar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 49)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (Al-Jatsiyah: 18-19)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat lain:
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat-ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat-ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra’: 73-75)

Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa berdekatan dan berkawan dengan pelaku maksiat, bid’ah dan hizbiyyah merupakan sebuah ujian yang sangat besar. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala melarang dan memperingatkan Nabi Muhammad dari orang-orang semacam mereka, maka tentunya kita lebih pantas untuk lebih berhati-hati. Berdekatan dan berkawan dengan mereka hanyalah akan menjadi sebab penyimpangan dan kesesatan, kecuali Allah subhanahu wa ta’alamenghendaki lain. Dalam hal ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari:
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ، كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإمَّا أنْ تَجِدَ مِنْهُ ريحاً طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحاً مُنْتِنَةً
“Sesungguhnya teman baik dan teman yang buruk itu diibaratkan dengan penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi dapat memberikan wewangian untukmu, engkau membelinya, atau engkau mendapatkan aroma wangi darinya. Adapun pandai besi bisa jadi membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan aroma yang tidak sedap darinya.”

Al-Imam Ibnu Baththal menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan larangan bermajelis dengan orang yang mendatangkan gangguan, seperti orang yang berbuat ghibah atau membela kebatilan. Hadits ini juga menunjukkan perintah untuk bermajelis dengan orang yang dapat mendatangkan kebaikan, seperti dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala mempelajari ilmu, dan seluruh perbuatan baik lainnya. (Syarah Ibnu Baththal)

Lalu perhatikanlah akibat buruk saat hari kiamat nanti karena salah dalam memilih teman. Pada hari kiamat, setiap orang yang zalim akan menggigit dua tangannya penuh sesal, kecewa, sedih, dan merugi karena kekufuran, kesyirikan, kemaksiatan, serta dosa yang ia lakukan. Ia berandai-andai, “Aduhai kiranya dahulu aku mengambil jalan keimanan bersama Rasul, mengikuti dan membenarkan risalahnya.” Ia menyesali perbuatannya karena telah menjadikan si fulan sebagai teman akrabnya, baik dari kalangan manusia atau jin. 

Padahal teman akrabnya tersebut adalah orang yang jahat dan buruk. Teman akrab yang tidak akan mendatangkan kecuali kehinaan dan kebinasaan. Teman akrab yang selalu menjadikan dosa dan maksiat sebagai sesuatu yang indah dan baik. Maka, hendaknya setiap hamba berhati-hati di dalam memilih teman akrabnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat Al-Furqan:
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak akan menolong manusia. (Al-Furqan: 27-29)

Tidak bergaul dengan ahlul bid’ah dan pelaku maksiat

Kemudian, di antara prinsip dasar akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah tidak bermajelis dengan pelaku bid’ah, tidak menjadikan mereka sebagai teman dekat, atau berkumpul dengan mereka. Di dalam kitab-kitab i’tiqad (akidah) Ahlus Sunnah, hal ini selalu disebutkan dan tidak terlewatkan. Banyak sekali nasihat ulama dalam hal ini. Di antaranya adalah ucapan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Tidak seyogianya bagi siapapun untuk bermajelis, bercampur, dan merasa dekat dengan ahlul bid’ah.” (Al-Ibanah, 490)
Habib bin Abi Az-Zibriqan berkata, “Dahulu jika Muhammad bin Sirin t mendengarkan satu kata dari seorang pelaku bid’ah, dia akan menutup kedua telinganya dengan jari. Kemudian beliau berkata, ‘Tidak halal bagiku untuk berbicara dengannya hingga ia bangkit dari tempatnya’.” (Al-Ibanah, 484)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Janganlah engkau meminta saran kepada pelaku bid’ah dalam masalah agama, dan janganlah meminta pelaku bid’ah untuk menjadi teman dalam safarmu.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, 3/578)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Tidak akan mungkin seseorang yang mencintai As-Sunnah dapat berteman dengan orang yang senang bid’ah, kecuali jika terdapat kenifakan.” (Ar-Radd ‘alal Mubtadi’ah no.1629)
Ibnu Taimiyah  berkata, “Barangsiapa berprasangka baik dengan mereka (ahlul bid’ah) dan mengaku tidak mengetahui keadaan mereka, maka ia harus diberi pengertian tentang keadaan mereka. Jika setelah itu ia tidak dapat berpisah dengan mereka serta tidak menampakkan pengingkaran terhadap mereka, maka ia dinilai sama seperti mereka dan dijadikan sebagai bagian dari mereka.” (Al-Majmu’, 2/133)
Ibnul Jauzi  berkata, “Perampok jalanan ada empat: seorang mulhid (atheis/penyeleweng) yang memunculkan keraguanmu terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala, seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) yang menjauhkan dirimu dari Sunnah Rasulullah n, seorang pelaku maksiat yang mendukungmu berbuat maksiat, dan seorang yang lalai sehingga membuatmu lupa untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (At-Tadzkirah, hal. 183)

Dari beberapa nasihat ulama di atas, dapat diambil sebuah keyakinan bahwa Islam melarang untuk bergaul dan berdekatan dengan orang-orang yang buruk serta menuntunkan untuk menghindari mereka sejauh mungkin. Hal ini disebabkan adanya pengaruh besar dari para pelaku bid’ah yang akan merusak akidah dan agama seseorang.

Memilih kawan yang jujur

Setiap muslim wajib untuk bergaul dan berkawan dengan orang baik. Jika ia jahil, maka kawannya yang akan menyampaikan ilmu, jika ia lupa maka kawannya yang akan mengingatkan, dan jika ia berbuat salah maka kawannya yang akan membimbingnya kepada kebenaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Al Kahfi: 28)

As-Sa’di  berkata dalam tafsir ayat ini, “Di dalam ayat ini terkandung perintah untuk berteman dengan orang-orang baik serta menundukkan jiwa agar dapat berteman dan bergaul dengan mereka, meskipun mereka adalah orang-orang fakir. Karena bergaul dengan mereka akan mendatangkan manfaat yang tiada terbilang.”
Qatadah bin Di’amah As-Sadusi berkata, “Demi Allah, tidaklah kami menyaksikan seseorang berteman kecuali dengan yang sejenis dan setipe. Oleh karena itu, bertemanlah kalian dengan hamba-hamba Allah l yang shalih agar kalian dapat bersama dengan mereka atau semisal dengan mereka.” (Al-Ibanah, 511)

Oleh karena itu, pembaca… Hendaknya kita benar-benar teliti dan selektif dalam memilih seseorang sebagai teman apalagi teman dekat. Karena kedekatan kepada seseorang akan menumbuhkan cinta, padahal Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim rahimahumallah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud tentang kedatangan salah seorang sahabat untuk menemui Rasulullah n dan bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimanakah tanggapan anda tentang seseorang yang mencintai suatu kaum dan belum pernah bertemu dengan mereka?” Maka Rasulullah n menjawab, “Setiap orang akan bersama dengan orang yang ia cintai.” Artinya ia akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti bersama orang yang ia cintai. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dibangkitkan bersama Rasulullah n dan yang mencintai beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)

Menjaga persahabatan dengan cinta

Jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan dari seorang hamba maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan taufiq kepadanya untuk bergaul dengan orang-orang baik yang mencintai As-Sunnah dan agama Islam. Allah subhanahu wa ta’ala akan menjauhkan dirinya dari orang-orang jahat dari kalangan ahlul bid’ah dan pelaku maksiat lainnya.

Maka dari itu, seorang muslim harus memanfaatkan nikmat ini dengan sebaik-baiknya dengan memerhatikan adab-adab di dalam berteman. Sebuah kaidah penting yang mesti diperhatikan di dalam bergaul dengan sesama Ahlus Sunnah adalah menyadari dan selalu mengingat bahwa setiap manusia tidak mungkin terlepas dari kesalahan dan kekurangan. Demikian pula sikap seorang muslim di dalam berteman. Kemudian yang harus diingat juga adalah setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Karena itu, jika seorang muslim melihat kekurangan saudaranya hendaknya ia mengingat kelebihan yang dimilikinya. Al-Imam Ibnu Mazin berkata, “Seorang mukmin selalu mencari udzur untuk saudaranya, sementara orang munafik selalu mencari kesalahan temannya.”

Al-Imam Hamdun Al-Qassar berkata, “Jika saudaramu terjatuh dalam sebuah kesalahan maka berikanlah untuknya 90 udzur. Apabila tetap tidak dapat, maka dirimulah yang lebih patut untuk dicela.” (Adabul ‘Isyrah, 13)

Al-Imam Ibnul A’rabi [1] berkata, “Berusahalah untuk selalu melupakan kesalahan yang diperbuat saudaramu, pasti rasa cinta di antara kalian akan terjaga.” (Adabul ‘Isyrah, 14)
Maka hendaknya sesama Ahlus Sunnah dapat mewujudkan ayat dan hadits-hadits Rasulullah n yang menggambarkan kekuatan dan kebersamaan di antara mereka, seperti satu tubuh yang satu sama lain saling merasakan. Sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan dan saling mengokohkan. Benci dan cinta yang dibangun di atas fondasi iman dan As-Sunnah, memberi dan tidak memberi hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala, serta bertemu dan berpisah demi meraih ridha Allah semata. Wallahu a’lam.


NASEHAT INDAH SEORANG ULAMA DIDALAM MENDIDIK ANAK DIMASA GLOBALISASI

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Wahai sekalian manusia ketahuilah bahwa keadaan pada masa ini berbeda dengan keadaan masa lalu. Dahulu mereka tidak mengetahui keadaan negeri lain dan tidak pula mengetahui peristiwa yang terjadi kecuali dinegri mereka dan sekitarnya saja.
Adapun pada zaman ini dunia seakan saling berdekatan dan dunia ini sebagaimana dikatakan seakan-akan seperti hanya satu desa saja. Tanggung jawab terbesar pada saat sekarang ini adalah terletak pada anak-anak.

Bimbinglah mereka dan jagalah mereka dari bahaya berbagai pemikiran-pemikiran yang sesat, jagalah mereka agar tidak sebebasnya pergi ketempat-tempat hiburan atau ketempat-tempat lain, jagalah mereka jangan sampai mereka dikendalikan oleh pihak lain selain kalian, janganlah kalian mengamanahkan mereka kecuali kepada orang yang kalian ketahui kejujuran, keamanahan serta keikhlasannya.
Walaupun anak-anak tersebut tinggal dekat dengan kalian tapi hati-hati mereka dan pemikiran mereka terkadang jauh dari kalian. . .

Awasilah segala bentuk media sosial baik itu twiter dan selainnya. . .
jauhkan segala bentuk media-media yang merusak. .
Semangatlah didalam menjaga rumah anda dari segala bentuk media sosial yang bisa merusak
Jangan katakan : Saya tidak mampu mengawasi mereka. .
Berusahalah untuk mampu dikarenakan mereka berada dibawah tanggung jawab kalian. .
Kalau mereka (anak-anak tersebut) mengetahui dari diri anda adanya sebuah tekad dan kemauan yang besar niscaya pasti mereka akan terdidik bersama anda
Namun jika mereka mengetahui adanya sikap bergampang-gampangan dari anda atau menutup mata (dari semua ini) maka mereka juga pasti akan bermudah-mudahan dan akan terdidik dalam jalan kejelekan kecuali siapa yang Allah rahmati.

Jagalah anak-anak kalian lebih dari penjagaan seorang pengembala terhadap serigala yang akan menerkam domba-domba mereka, dikarenakan anak-anak kalian juga terancam keselamatannya dari serigala yang berwujud manusia
Jika niat kalian baik dan kalian jujur didalam tekad kalian maka pasti Allah akan menolong anda
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang beriman dan anak keturunan merekapun beriman maka pasti kami akan mempertemukan mereka dengan anak keturunan mereka (di surga) dan kami tidak akan mengurangi sedikitpun dari amalan mereka, setiap orang akan mendapatkan apa yang dia usahakan”. [Ath Thur :21]
Ketahuilah tanggung jawab ini besar dan hisab (perhitungan amalan) sangatlah detail dan terperinci dan mengikuti bimbingan sangatlah berat kecuali siapa yang Allah beri taufik dan dia jujur didalam niatnya dan baik keadaan hatinya, maka Allah akan meluruskan dan memudahkan dia didalam mendidik anak-anaknya dan anak-anak tersebut akan mudah diarahkan jika ada kejujuran, keamanahan serta tekad yang kuat dan tidak ada sikap bermudah-mudahan.


* Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

TETAP TEGARNYA HATI DIATAS KEBAIKAN

Dan telah diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
يا مقلب القلوب ثبت قلوبنا على دينك   , يا مصرف القلوب اصرف قلبنا إلى طاعتك
“Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami di atas agama-Mu, wahai Dzat yang mengarah-arahkan hati, arahkanlah hatiku untuk mentaati-Mu.”
Dalam hadits lainnya:
مثل القلب كمثل ريشة بأرض فلاة تقلبها الرياح
“Permisalan hati itu ibaratnya seperti sebuah bulu yang terletak di padang pasir yang dibolak-balik oleh angin.”
Ketahuilah, sesungguhnya hati itu ditinjau dari kekokohan diatas kebaikan dan kejelekkan atau berbolak baliknya diantara keduanya itu terbagi menjadi tiga macam:
  1. Hati yang pertama; adalah hati yang dimakmurkan dengan ketakwaan, disucikan dengan latihan, dibersihkan dari kejelekkan-kejelekkan akhlaq. Maka terbukalah bisikan-bisikan kebaikan (dalam hati) dari perbendaharaan alam ghaib, lalu malaikat menguatkannya dengan hidayah.
  2. Hati yang kedua; adalah hati yang terbengkalai yang diisi dengan hawa, dikotori dengan kotoran-kotoran, tercemari oleh akhlak-akhlak yang jelek. Maka menjadi kuatlah padanya kekuasaan syaithon karena keluasan tempatnya. Dan menjadi lemahlah kekuasaan iman padanya. Dan hatinya dipenuhi oleh asapnya hawa nafsu, maka hilanglah cahayanya, keadaannya menjadi seperti mata yang dipenuhi oleh asap yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat. Tidak lagi berpengaruh baginya larangan tidak pula nasihat.
  3. Hati yang ketiga; Hati yang mulanya ada bisikan hawa nafsu lalu ia mengajaknya untuk berbuat jelek, lalu disusul oleh bisikan keimanan sehingga mengajaknya untuk berbuat baik. Contohnya : Tatkala syaithon mendorong kepada suatu keinginan atas akal, maka menjadi kuatlah dorongan hawa nafsu. Lalu ia mengatakan: “Tidakkah engkau melihat si fulan dan fulan, bagaimana mereka melepaskan diri-diri mereka dalam hawa nafsunya.” Hingga syaithon menyebutkan beberapa ulama (yang tergelincir dalam hawa nafsu-pent), maka jiwanya mulai condong kepada syaithon.
Lalu malaikat membantah syaithon dan mengatakan:  “Tidaklah binasa kecuali orang yang melupakan siksaan (akhirat), maka janganlah engkau tertipu dengan lalainya manusia terhadap diri mereka sendiri. Tidakkah engkau lihat, jika engkau berdiri di bawah terik matahari pada musim panas dalam keadaan engkau memiliki rumah yang sejuk, apakah engkau akan mencocoki mereka (dengan tetap berjemur di matahari-pent) ataukah engkau mencari kemaslahatan (dengan masuk rumahmu-pent)? Apakah engkau menyelisihi mereka dalam urusan panasnya terik matahari dan engkau tidak menyelisihi mereka dalam perkara yang akan mengantarkan ke neraka?”
Maka jiwanyapun mulai condong kepada perkataan malaikat. Maka terjadilah kebimbangan diantara dua pasukan, sampai kepada yang menguasai hati adalah yang lebih pas untuknya. Maka barang siapa yang diciptakan untuk kebaikan maka dia akan dimudahkan untuk itu, dan barang siapa yang diciptakan untuk kejelekkan, maka dia  akan dimudahkan untuk itu.
Allah berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ  وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاء
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.” (QS. Al-An’aam 125)
Ya Allah berikan kami taufik terhadap perkara-perkara yang Engkau cintai dan ridhai.
Disadur dari kitab Mukhtashar Minhajil Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi h. 147-148.

* Alih bahasa: Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary hafizhahullah

Sabtu, April 04, 2015

HUKUM ISBAL

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka (kaki tersebut).”
Sarung, celana, jubah, atau yang semisal, biasanya dikenakan oleh kaum musbil hingga menutupi mata kaki. Kebiasaan yang perlu dikritisi secara tinjauan syariat Islam. Mengapa hal “remeh” semacam ini dibahas? Itulah kesempurnaan ajaran Islam. Cara berpakaian pun ada aturannya.
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5450), an-Nasa’i (no. 5330), dan Ahmad (2/498), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya dari riwayat Syu’bah, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits lain yang lafadznya senada cukup banyak, antara lain,
1. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat ath-Thabarani dalam al-Kabiir (3/138).
2. Hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu riwayat an-Nasa’i dan Ibnu Majah (no. 3572).
3. Hadits Aisyah x riwayat Ahmad (6/59, 254, 257).
4. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan lainnya. (ash- Shahihah, no. 2037) Isbal dan Musbil Isbalartinya menggunakan pakaian yang menutupi mata kaki, baik dalam bentuk sarung, celana, maupun jubah. Musbil adalah sebutan untuk orang yang melakukan isbal. Isbal telah menjadi pandangan sehari-hari dari kalangan kaum muslimin. Ada yang sama sekali tidak mengerti tentang keharamannya, ada yang sekadar mengikuti mode dan tren, juga ada yang tidak menaruh perhatian sedikit pun tentang hal ini. Sebenarnya, bagaimanakah hukum isbal itu? Hukuman apa yang diancamkan atas kaum musbil? Apakah hal ini termasuk masalah furu’—menurut kalangan tertentu—, sehingga tidak layak untuk diperdebatkan? Benarkah hal ini hanya masalah adat dan budaya orang Arab yang tidak berlaku di negeri kita, Indonesia? Adakah perbedaan antara musbil yang sombong dan musbil yang tidak sombong? Simaklah penjelasan ringkas berikut ini, barakallahu fikum.
Hukum Isbal
Isbal hukumnya haram, bahkan dapat dikategorikan sebagaikabair (dosa besar). Hukum ini berlandaskan pada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 106) dan lainnya,“Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidakmemandang ke arah mereka, juga tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.” Kata-kata ini diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai para sahabat bertanya, “Siapakah ketiga golongan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Orang musbil, orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Artinya, masalah isbal bukanlah masalah kecil. Tidak tepat juga jika masalah isbal dinilai sebagai masalah furu’. Anggapan sebagian kalangan bahwa masalah isbal hanyalah adat dan budaya orang Arab juga tidak benar. Ternyata, isbal termasuk dosa besar sesuai dengan sabda Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wasallam. Hukum isbal hanya berlaku untuk kalangan laki-laki. Sebab, ada hukum tersendiri bagi kaum wanita. Kekhususan hukum ini untuk kaum laki-laki telah dinukilkan ijma’ ulama oleh Ibnu Raslan dalam Syarah Sunan. (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud)
Apakah Isbal Hanya Berlaku untuk Sarung?
Sesuai lafadz hadits di atas, seolaholah, zahirnya menunjukkan hukum isbal hanya berlaku untuk sarung saja. Benarkah demikian? Al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul bab untuk hadits di atas bab “Pakaian yang Berada di Bawah Mata Kaki Akan Masuk Neraka.” Kemudian al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah menjelaskan, ”Demikianlah, al-Bukhari rahimahullah menyebutkan secara mutlakdan tidak memberikan taqyid (pembatasan) dengan ‘sarung’ sebagaimana yang terdapat di dalam lafadz hadits. Ini adalah isyarat bahwa hukum isbal berlaku secara umum baik untuk sarung, jubah, maupun pakaian lainnya. Sepertinya, al-Bukhari rahimahullahmengisyaratkan pada lafadz hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhuyang diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah; yang dinyatakan sahih oleh Abu Awanah dan Ibnu Hibban.” (Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari) Hukum isbal yang tidak hanya terbatas pada sarung juga dapat dipahami dari hadits-hadits lain tentang isbal yang disebutkan pada kajian kita ini.
Musbil Tanpa Disertai Sikap Sombong
Ada sekelompok orang yang kurang bisa menerima hukum isbal secara mutlak. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3665) dan Muslim (no. 2085) dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti.”
Kata mereka, “Larangan isbal hanya berlaku untuk orang yang sombong saja! Jika tidak disertai sikap sombong, tidak mengapa.” Jika berdasarkan ilmu kita berbicara, bukan hawa nafsu; jika di atas sikap hormat kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kita berhukum, tidak dengan menurutkan kesenangan hati; jika tidak mengambil sikap seenaknya kita sendiri, menerima satu hadits dan menolak hadits yang lain, walau tidak diakui secara lisan; tentu setiap hadits dapat diposisikan sebagaimana mestinya. Lihat dan teladanilah sikap para ulama. Mengenai hal ini, mereka merincinya menjadi dua masalah.
 1. Musbil disertai sikap sombong
Orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang seperti inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, dan tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azabyang pedih.”
2. Musbil tanpa diikuti oleh sikap sombong
Orang semacam ini siksanya di bawah tingkatan siksa jenis orang pertama. Orang seperti inilah yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang semacam inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, adadi dalam neraka.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Pendapat para ulama di atas didukung oleh sebuah riwayat dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4093), an-Nasa’i (no. 9714—9717), Ibnu Majah (no. 3573), dan yang lain, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah(no. 2017). Di dalam riwayat tersebut, dua keadaan di atas disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara berbeda dalam satu konteks. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka. Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya.”
Jadi, sabda Nabi, “Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, AllahSubhanahu wata’ala tidak akan memandangnya”, tidak berarti apabila isbal tidak disertai sikap sombong maka boleh. Bukan seperti itu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dipahami! Hal lain yang perlu dicermati jugaadalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat yang meriwayatkan hadits larangan isbal dengan disertai sikap sombong. Bagaimanakah praktik Abdullahbin Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hal ini? Bukankah beliau lebih layak untuk diteladani dalammemahami hadits tersebut?Ternyata, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang meriwayatkan hadits tentang larangan musbil dengan disertai sikap sombong, pada praktiknya menggunakan kain sarung di atas mata kaki, bahkan di pertengahan betis. Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2086)meriwayatkan dari Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, “Aku pernah bertemu RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan,‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab,  “Sampai pertengahan betis.” Bagaimana dengan Atsar tentang Abu Bakr ash-Shiddiqradhiyallahu ‘anhu?Sekelompok kecil orang di atas ternyata masih berusaha mencari alasan dan pembenaran, walau sangatdipaksakan. Kata mereka, “Abu Bakr juga terkadang musbil dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kepada beliau, ‘Sungguh, engkau tidak termasuk yang melakukan isbal dengan disertai sikap sombong’. Mereka memahami, “Jadi, larangan itu hanya berlaku pada orang musbil yang bersikap sombong. Jika tidak, boleh-boleh saja!” Pembaca, semoga Allah Subhanahu wata’ala menjaga Anda, marilah kita mencermati hadits tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dekat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ إِنَّكَ لَسْتَ : ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
“Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)
Ada beberapa hal yang harus dicermati tentang keadaan Abu Bakr di atas:
1. Tidak ada faktor kesengajaan isbal dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
2. Upaya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu untuk selalu menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki.
3. Yang terkadang turun menutupi mata kaki Abu Bakr adalah salah satu sisi pakaiannya. Artinya, sisi pakaian yang lain berada di atas mata kaki.
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merekomendasi Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang tidak sombong. Pertanyaannya, ”Apakah riwayat tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dapat disamakan dengan kaum musbil yang dengan sengaja telah melakukan isbal? Apakah mereka selalu berusaha menaikkan celana jika mulai menutupi mata kaki? Siapa yang merekomendasi mereka bebas dari sikap sombong?” Praktik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Lihatlah praktik para sahabat dalam hal ini. Abu Ishaq bertutur, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib .” (Majma’ az-Zawaid) Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada AllahSubhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424) Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda,
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلُ، فَإِنْ أَبَيْتَ، فَلاَ حَقَّ لِلْإِزَارِ فِيْ الْكَعْبَيْنِ
‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalamSyamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)
Sebagai penutup, marilah kita meresapi kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di bawah ini. Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkisah, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, ‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ؟
“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahanbetis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahiholeh al-Albani no. 97)
Sekarang, kita bisa menyampaikan kepada siapa saja yang bertanya tentang hukum isbal, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan pakaian di atas mata kaki, bahkan hingga di tengah betis.” Wallahu a’lam.
Sumber: http://asysyariah.com/hadits-hukum-isbal/